WIKSU PUNGU
Oleh IBM Dharma Palguna
“Awighnam Astu Nama Siddham”
Tersebutlah beliau Sang Maharesi, telah sempurna keutamaan beliau tentang rasa dari Danur Weddha. Beliau adalah seorang pendeta yang menguasai asal-muasal dari segala tattwa, sari-sari dari ajaran shastra, terutama menguasai tentang dasar-dasar kegunaanya serta sampai pada pahala-pahala pada akhirnya.
Ketika beliau sedang menyatukan diri dengan Hyang Agama, luar biasa keshaktian beliau, bahkan jauh melebihi kualitas dharmanya Sang Hyang. Beliau mengetahui makna dari pertanda-pertanda atau wangsit tentang keinginan-keinginan Bhatara, yang dijadikan junjungan di kiri dan junjungan kanan, termasuk para Dewa, Dewata, Gandharwa, serta perilaku para Bhuta, Kala, Dhengen, yang memeluk atau melingkari pangkal dari ketiga tingkatan jagat ini. Diketahui juga oleh beliau tentang pikiran-pikirannya dan perasaan-perasaannya masing-masing. Dalam hubungan dengan para Hyang semuanya, sesungguhnya beliau itulah
[1b]
sebagai Dewa yang berkedudukan di puncak dari ketiga tingkatan jagat. Semuanya itu dengan sangat jelas oleh dirinya dilihat, yaitu sifat-sifat dan perasaan-perasaan mereka masing-masing, sampai pada penjelmaan mereka di kelak kemudian hari juga telah diketahui olehnya, serta persatuan dari ketiga tingkatan bhuwana, dan bahkan sebagai Dewanya Hyang Shiwatmaka, Dewa Pitara, dan Bhatara Pitra. Siapakah beliau yang ternyata seperti itu keadaannya?
Beliau itu bernama Wiksu Pungu, karena senantiasa beliau dalam keadaan sadar atau ingat, lagi pula beliau adalah seseorang yang menjalankan brata Brahmacari [berpantang berhubungan badan dengan perempuan], di dalam pertapaannya beliau hendak mengetahui awal mula dari adanya bumi. Beliau adalah sebagai anak keturunan dari Mpu Tutur, yang menjadi Dewa pada awal mula dari adanya bumi, Wali Tattwa, itu pulalah sebab-musababnya sehingga ada yang disebut Bumi Bali sampai pada masa sekarang ini, karena Bumi Bali itu sudah dihuni
[2a]
oleh orang yang telah mencapai tahapan putus [tahapan bebas] dalam pencarian-pencariannya, namanya adalah Sang Walyulah. Adapun namanya yang lain adalah Sang Siddha Yogi [yogi yang telah berhasil yoganya], karena telah berhasil menemukan sangkan [asal], maka patut diingat oleh orang yang bersungguh-sungguh berkeinginan untuk menekuni atau melakoni Dharma di dalam ketiga tingkatan jagat ini.
Apabila berkeinginan berbuat agar menjadi langgeng kebaikan-kebaikan di seluruh bumi mandala [bumi sebagai sebuah lingkaran], dan para raja, para menteri, para patih, serta para pendeta dari kelompok Catur Asrama [empat tahapan hidup sebagai ashrama], terutamanya yaitu Guru Tiga tersebut, semuanya itu janganlah hendaknya sampai salah tempat, janganlah hendaknya sampai salah kedudukan, janganlah hendaknya sampai salah tingkah laku, janganlah hendaknya sampai salah pikiran, janganlah hendaknya sampai salah angan-angan, janganlah hendaknya sampai salah pengharapan, janganlah hendaknya sampai salah cipta, janganlah hendaknya sampai salah bicara, janganlah hendaknya sampai menyimpang dari dharmanya, dari Adi Sasana [pokok-pokok aturan etika] masing-masing. Apabila sampai menyalahi aturan Adi Sasana tersebut sedari awal permulaan, maka akan menjadilah
[2b]
keadaannya seperti itu. Sudah pasti akan menjadi hancur-lebur bhuwana ini, bukan oleh karena gempa bumi. Akan terbakarlah dunia ini bukan karena oleh api. Lebur ketiga tingkatan bhuwana ini. Tidak pelak lagi, akan menjadi terbaliknya dunia ini. Yang posisinya ada di atas menjadi ada di bawah posisinya. Tidak ada henti-hentinya, berputar-putar tiada sela atau jedanya. Menjadi hilang sirnalah para Dewa yang berada di tengah-tengah atau di pusat desa. Kata-kata beliau Mpu Tawang Per kepada orang yang menjadi raja di bumi mandala. Hendaknya dipahamilah segala Pastu [kutukan] beliau semuanya, lengkap beserta dengan baik buruk dari pahala baik untuk waktu sekarang ini maupun untuk waktu yang akan datang, termasuk waktu pada awal mulanya ada yang disebut sorga dan neraka, dan awal mula dari adanya hidup dan mati. Tentang ketiga-tiganya itulah jangan hendaknya orang yang mengaku sebagai seorang Pandita Bumi sampai tidak mengetahui atau menyadarinya. Apabila ia
[3a]
tidak mengetahui isi dari ucapan-ucapan seperti itu, maka sudah jelas pekerjaannya akan berbalik menghancurkan bhuwana dan menghancurkan tubuhnya sendiri, seperti keadaannya yang terdahulu yaitu pada awal adanya cerita.
Dan berikut ini adalah tentang tujuan beliau Sang Wiksu Pungu, kepada Putra-Dharma beliau, yaitu murid spiritual yang sudah dianggap sebagai anaknya sendiri, dengan julukan Sang Aji Saji namanya. Ia itulah yang pada mulanya ada di Janapadha atau di alam tingkatan manusia.
“Anakku kamu Sang Aji Saji, dengarkanlah ini semuanya, yaitu rasa dari ajaran [penghabisan ] dari diriku kepada dirimu. Ingat-ingatlah jangan sampai lupa. Apabila dirimu ingin berhasil mendapatkan pahala dari melaksanakan Tapa [pemanasan dari dalam] dan Brata [janji pengendalian diri], dan ingin mengetahui hubungan antara jiwa dengan Jnana, dan juga termasuk mengetahui akhir dari penjelmaan sebagai manusia, janganlah hendaknya dirimu bermalas-malasan, janganlah mabuk-mabukan, janganlah bersifat ragu-ragu. Dirimu senantiasa memikir-mikirkan atau merenung-renungkan segala ucapan dari orang tuamu. Terlebih lagi
[3b]
dirimu ini adalah sebagai bentuk perwujudan darinya. Itulah asal-muasal dari adanya tujuan, sebagai bentuk perwujudan dari Mula Tatwa. Itulah semuanya, sebanyak-banyaknya yang dirimu mampu katakan adalah sebagai rasa dari Shastra. Semuanya itu adalah benar. Pada orang-orang yang sudah mengetahui, tidak benar bahwa ia tidak mengetahui tentang rasa dari ucapan-ucapannya.
Begitulah orang tua yang ada di muka bumi ini, apabila dalam hal kebahagiaan mulai dari saat sekarang sampai kelak di kemudian hari. Maka kebahagiaan itu tidak akan pernah kembali lagi pada kedukaan, tidak merasa sangsi ketika “aku” mencari rasa dari Sang Hyang Aji, menginginkan mendapatkan rasa dari pelaksanaan Brata dan Tapanya. Karena pikiran yang disiplin dengan jalan berpantangan, sebagai sarananya adalah pemujaan kepada Dewa-Dewa dengan dasar sarana Wedha, Mantra, Yoga, Samadhi, Dyana, serta Sandhi Ajñana. Semuanya itu
[4a]
hendaknya ditemukan dan didapatkan dengan cara bersungguh-sungguh pada pelaksanaan dari Japa Siddhi [pengucapan silabel suci secara berulang-ulang] yang tekun. Baik ketika ada maupun ketika tidak ada belas kasih beliau Hyang Shiwa Guru Tunggal, tetap carilah terus dengan usaha yang bersungguh-sungguh jugalah rasa itu, dari manakah asal-muasalnya dengan keyakinan bahwa rasa itu memang benar ada. Sehingga dengan demikian, akan menjadi kelihatanlah oleh beliau siapa yang melakukan Tapa sejati. Akan kelihatanlah subha dan asubha karmanya masing-masing, yaitu baik atau buruknya hasil perbuatan masing-masing. Dan juga akan kelihatan pula baik sorga maupun neraka dari masing-masing manusia tersebut.
Semua itu akan menjadi jelas kelihatan oleh Sang Pandita melalui kematangan Sandhi Ajnananya, ketika sudah menyatu-padu dengan Bhatara, serta telah menyatu padu pada pelaksanaan dari Japa Siddhi, yaitu menyebut berulang-ulang bija-aksara tertentu sampai tercapai tujuannya. Itulah yang dinamakan sebagai keberhasilan dari pelaksanaan yoga. Orang yang dengan teguh hati melaksanakan Tapa sejati, selanjutnya ia akan merenung-renung tentang baik dan tentang buruknya, termasuk merenung-renung pada inti rasanya. Janganlah hendaknya sampai lupa pada baik dan buruk dari sifat kegunaannya sedari awalnya sampai pada akhirnya, karena jalan ini benar-benar teramat sangat sulit. Menurutnya, apabila teringat tentang
[4b]
rasa dari segala ajaran Hyang, maka rasa dari ajaran itu yang diikatnya dengan erat-erat di dalam hatinya. Itu bukanlah karena adanya rasa kasih Hyang Jagat Karana, sehingga kemudian beliau memberikan kesadaran atau memberikan ingatan kepada Sang Tapasa [orang yang melaksanakan tapa sejati]. Yang memiliki pengaruh tidak nyata atau tidak langsung pada rasa adalah sabda Sang Hyang yang terdapat di dalam semua jenis aksara, terutamanya adalah ucapannya tentang “melihat tapi tidak kelihatan”. Karena sari-sari rasa dari Sang Hyang Catur Wedha [empat kelompok Wedha] terdapat di dalam ajaran Hyang Agama.
Hyang Agama tersebut berada di dalam diri Hyang Manu. Hyang Manu itu berada di dalam diri Hyang Suksma Widdhi. Itulah sebabnya, hendaknya dicari dengan cara bersungguh-sungguh, sebagai sarana untuk menghilangkan kekotoran atau Mala yang hebat. Itu diihtiarkan oleh orang-orang yang berkeinginan untuk mendapatkan hasil dari melakoni ajaran kesusilaan. Yang dimaksudkan dengan Mala Adi adalah segala yang dipandang sebagai musuh oleh orang yang menempuh jalan menjadi Bhiksuka, terlebih lagi oleh Bhiksu yang mahashakti, yang memiliki kemampuan membuat yang ada dan yang tidak ada, yang mampu menciptakan kesenangan-kesenangan
[5a]
dan sekaligus menciptakan kawah. Itulah awal permula dari adanya baik sorga maupun neraka. Seperti itulah semua kehebatan-kehebatannya, apabila berbuat kesalahan-kesalahan di dalam hati.
Pada orang yang tidak mampu “melihat” oleh karena faktor dirinya masing-masing, dan termasuk yang ada di dalam dirinya: memiliki budhi yang bersifat rendah, memiliki pengetahuan yang sedikit, tanpa Shastra, yang benar dikatakannya salah, yang bohong dikatakannya benar, sesuatu yang tidak ada tapi disanggahnya, yang hina dina namun kaya akan mas permata segala yang mulia, yang sakit dikatakan sehat, kebahagiaan dikatakan duka, rasa yang enak dikatakannya tidak enak. Kawah lumpur akhirnya dikatakannya sebagai sorga yang utama. Harta kekayaan yang memiliki sifat membinasakan, akhirnya dikatakan bahwa rejeki yang besar sedang berdatangan. Seperti itulah pengaruh-pengaruh terbalik dari Kala Kali
[5b]
Sanghara, atau masa kehancuran atau masa kebinasaan. Pada masa Kala Kali Sanghara tersebut orang-orang tidak lagi memiliki keinginan untuk melaksanakan Yoga Dharaka, yaitu pelaksanaan yoga yang kuat, sehingga dampaknya akan membangkitkan kekuatan. Tempat-tempat pertapaan musnah hilang lantaran salah dalam cara melaksanakan Brata. Pada orang-orang yang tidak memahami ajaran Shastra, keshaktian itu dipandang terdapat pada perempuan dan pada harta perak. Mereka tidak menyadari meskipun dicerca dihina sekali pun, namun hasrat keinginannya pokoknya asalkan mendapatkan kesenangan sesaat, yaitu sekelebatan kilat. Mereka tidak memperhatikan sanak keluarga dan anak, ayah, ibu, kakek, nenek. Seperti itulah keadaan terbalik dari pikiran manusia yang tidak memahami ajaran yang benar. Tidak pelak lagi orang-orang tersebut tidak akan sadar pada hakikat dari penjelmaannya menjadi manusia, apalagi akan bisa ingat tentang kewangsaan. Semua itu, tidak akan kelihatan di dalam hati, karena hatinya dipenuh-sesaki oleh perasaan senang dan perasaan benci, dihambat oleh keterikatannya pada objek-objek kesenangan indriya, tertindih oleh kebodohan dan kebingungan, citta menjadi lupa. Semua itulah yang menyebabkan congkak, ucapan setiap apa saja yang diketahui
[6a]
menjadi ke luar, dosanya besar. Maka dari itu tidak pelak lagi, pastilah akan menjadi salah tujuan. Seperti itulah akibatnya orang-orang yang tidak percaya pada ajaran Shastra, yaitu ajaran yang patut diyakini oleh para manusia. Itulah sebabnya, wahai anakku, sehingga diajarkanlah tempat keberadaan segala Mala Indriya [kekotoran indriya] di dalam kesenangan tubuh, dan termasuk sifat perilaku dari indriya masing-masing. Semua itulah yang menjadi melekat kuat di dalam hati, baik dengan ada buah pahalanya maupun tanpa ada buah pahalanya.
Yang dimaksudkan dengan berpahala adalah buddhi yang memiliki sifat baik dan damai. Sedangkan “tanpa pahala” maksudnya adalah keadaan yang hina dina, kurang pengetahuan, tidak mengerti isi ajaran. Awal mulanya dari adanya Mala yang besar menyebabkan adanya bencana besar. Orang yang melaksanakan Tapa suci, maka Tapa itu akan mampu membuat langgeng orang yang sungguh-sungguh mencari pahala dari pelaksanaan Tapa Brata. Ia ada di dalam bhuwana, orang yang mengetahui cara melaksanakannya
[6b]
masing-masing. Perinciannya antara lain seperti berikut ini: delapan belas jumlah semuanya. Itulah awal mula yang disebut kawah dan sorga ketika ada di jagat sakala [jagat yang terkena hukum waktu], yang patut diperhatikan dengan seksama oleh Sang Mahapandita, sebagai “sahabat dalam pencarian”, sebagai awal mula dari asal dan tujuan, namanya adalah Hyang Rwa Karana [dua penyebab pokok]. Hyang itulah yang menjaganya dalam usahanya mencari kebaikan.
Dan apa pula sebab-musababnya sehingga dikatakan ada delapan belas sifat-sifatnya di dalam bhuwana? Berikut ini hendaknya diingat-ingat oleh dirimu, wahai anakku, janganlah dirimu sampai lupa pada sari-sarinya. Yang disebut Tri Bhuwana [tiga tingkatan bhuwana] itulah menjadi awal mula dari munculnya Tri Mala [tiga jenis mala]. Tri Mala tersebut “bersahabat” secara berdampingan dengan Tri Kaya Parishuddha [tiga perbuatan baik: berpikir, berkata, berbuat]. Ada pun Panca Mahabhuta [lima jenis bhuta yang besar: tanah, air, api, angin, udara], itu adalah awal mula dari adanya Panca Indriya [lima macam indriya]. Itu adalah Panca Mala [lima jenis kekotoran]. Itu adalah awal mula dari adanya Panca Sila [lima dasar]
[7a]
awal dari adanya Panca Amerta [lima jenis Amerta]. Panca Amerta itu adalah awal mula dari adanya Asta Kosala [delapan lapis atau delapan jenis perbekalan], Asta Dewata [kelompok delapan dewata], Asta Wasu [delapan jenis Wasu], Asta Bhawana [delapan tingkatan bhawana].
Dasa Mala [sepuluh jenis kekotoran] itu adalah awal mula dari adanya Dasa Indriya [sepuluh macam indriya], sebagai pelayan dari Dasa Sila [sepuluh dasar kesusilaan]. Dasa Sila itu adalah awal mula dari adanya Dewata Nawa Sangha [kelompok sembilan dewa] yang memiliki sifat shakti-shakti. Sifat shakti tersebut adalah sebagai awal mula dari adanya Resi Langit.
Itulah awal mula dari adanya di dalam tubuh Dasa Prakasa, Dasa Bumi, yaitu awal mula dari apa yang disebut Hana Hani Hanu. Seperti itulah perkataan dari beliau Resi Wiksu Pungu, kepada putera beliau yang bernama Sang Aji Saji tentang jagadhita [kesentausaan di jagat].
Menyahutlah Sang Aji Saji: “Hamba menyembah tertuju kepada Paduka Hyang, apa pulakah sebabnya Mala atau kekotoran yang besar itu menjadi berkuasa di dalam ketiga tingkatan jagat? Dan apa pulakah yang menyebabkan sehingga menjadi luar biasa shakti serta mampu menguasai
[7b]
seluruh bumi mandala, mampu menciptakan apa yang ada dan apa yang tidak ada, mampu menciptakan adanya baik-buruk dan sorga-neraka, menguasai laki perempuan, sampai pada hidup dan mati.”
Wiksu Pungu pun menjawab. “Duhai Anakku, ada pun yang disebut sebagai Tri Mala [tiga jenis kekotoran], itulah sebagai awal mula dari adanya Tri Beddha [tiga yang berbedha]. Yang disebut Tri Beddha adalah Tri Tattwa [tiga tingkatan tattwa], yaitu sifat Satwa [tenang] sifat Rajah [aktif], sifat Tamah [pasif].
Yang disebut Satwa adalah kesadaran yang berkembang sesuai dengan ajaran Shastra, yaitu berbakti kepada Hyang, dan melaksanakan seluruh aturan di dalam kitab Sila Adi Krama, termasuk Puja, Wedha, Mantra, Yoga, dan Samadhi, Dhyana, dan Sandhi Jnana, Japa dan pemucuknya hati. Semua itulah sebagai perwujudan badan dari Sang Hyang Wedha, sebagai pendukung dari pelaksanaan Brata yang kokoh. Sebagai pelaksanaan dari Tapanya adalah Tri Sandhi. Semua itu,
[8a]
adalah perwujudan dari budhi yang memiliki sifat Satwa [sifat tenang]. Itulah yang dinamakan Satwa.
Ada pun kegunaan dari sifat Rajah namanya, sifat Rajah tersebut adalah asal mula dari adanya Kala Krodha. Itu adalah asal mula dari adanya bayu yang langgeng di dalam segala macam pekerjaan, tidak pernah merasa takut pada hal-hal yang bentuknya menyeramkan, dan tidak takut baik pada suka maupun duka, panas dan dingin, merasakan rasa yang enak dan termasuk rasa yang tidak enak, termasuk juga hal yang baik dan yang buruk buruk yang tidak terhingga. Semua itu dilalui oleh ulah dari sifat Rajah namanya. Begitu pula tidak setengah-setengah olehnya menggerakkan semua itu, itulah yang dinamakan sifat atau kualitas Rajah.
Dan yang dinamakan sebagai sifat Tamah, antara lain adalah merasa lemas tidak memiliki tenaga pada pekerjaan-pekerjaan yang baik, terutama pekerjaan yang berhubungan dengan segala Karya Kartha, yaitu shaktinya perempuan dan harta perak. Merasa betah asyik semata-mata pada makanan dan pada minuman, yang terutamanya adalah kesenangan tidur, merindukan
[8b]
kemelekatan pada objek-objek dari indriya, tidak memiliki pengetahuan tentang Shastra, yang dijadikan sebagai pegangan di dalam hati di dalam jagat yang mengalami kekotoran. Besar atau keras hatinya pada kebiasaan mabuk-mabukan dan dalam keadaan kebingungan, menyimpang dari ajaran tentang Dharma, memiliki sifat-sifat durhaka kepada ketiga jenis guru, asyik melakukan pekerjaan berjudi dan bertaruh-taruhan, pekerjaannya adalah mengadu ayam jago dan mengadu sawung, selalu buruk macam perkerjaannya yaitu membencanai teman-teman sesamanya, luar biasa besar kebohongannya, pikirannya memiliki sifat durjana, membunuh orang tanpa ada dosa-dosanya, mempraktekkan ilmu hitam seperti: Desti, Tuju, Teluh, Taranjana, Moro, Papasangan, Pepêndêman, Sasawangan, Acêp-acêpan, dan menyebarkan rasa kebencian di muka bumi ini. Semua itu adalah perwujudan dari sifat-sifat Tamah namanya.
Ada pun sifat-sifat dari Rajah itulah yang berubah menjadi kemarahan. Sifat Rajah itu adalah yang menjadi bayu, itu menjadi perbuatan.
[9a]
Di dalam setiap pekerjaan sifat-sifat dari Rajah itulah yang membuat perasaan menjadi berani dan menjadikan galak. Itulah yang bernama Rajah.
Sifat-sifat dari Tamah itulah yang berubah menjadi sifat loba atau keserakahan yang besar. Senantiasa ia merasakan adanya kecemasan. Tidak memiliki keinginan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang baik. Sifat-sifat dari Satwa itulah yang menjadikan kembali pada keterikatan, dan betah dengan Dharma. Sebagai badannya adalah rasa berani dan rasa takut. Ia salah ia benar. Ia kasih ia marah galak. Namun itu disesuaikan dengan waktu dan ruang. Sesuai pula dengan ajaran dari Sang Hyang Aji. Itulah yang dinamakan Satwa Karma.
Dan lagi tentang Tattwa dari ketiga-tiganya itu, sifat-sifat dari Rajah itulah yang menggerakkan bayu. Sifat-sifat dari Satwa itulah yang menggerakkan Sabda. Sifat-sifat dari Tamah ituah yang menggerakkan pikiran. Itulah yang menjadi Tri Pramana [tiga yang menghidupkan] di dalam Bhuwana Sarira, atau di dalam tubuh ini. Sebagai badannya adalah Tri Bhuwana [tiga tingkatan bhuwana]. Karena sebagai Dewa dari seluruh dunia, ketiganya itulah ketika menunggal di bumi. Itu adalah awal mula dari Tri Aksara [tiga macam aksara suci]. Ketika ketiga aksara suci itu menunggal
[9b]
menjadi Mantra, itulah yang menjadi jiwa yang menyebabkan hidup atau berjiwanya aksara Wreastra.
Ada pun tentang Panca Mahabhuta itu jumlahnya ada lima macam, namanya masing-masing adalah: Prêtiwi, Apah, Téja, Bayu, Akaûa.
Panca Mahabhuta yaitu Perthiwi adalah sebutan untuk bumi, yaitu rasa senang. Yang dimaksudkan dengan rasa senang adalah perasaan betah asyik dan selalu memiliki keinginan-keinginan. Senang berarti langgeng.
Apah adalah sebutan untuk Wwe. Yang dimaksudkan dengan Wwe adalah air. Air itu ada pada matahari. Matahari itu ada di dalam Sara Shunya [inti dari kesunyian atau inti dari kekosongan].
Teja itu adalah sebutan untuk Api. Yang dimaksudkan dengan api adalah segala yang bersinar-sinar terang berkilauan menerangi ketiga tingkatan bhuwana. Bayu itu adalah sebutan untuk angin, yaitu segala yang bergerak berhembus-hembus. Semilir di dalam bhuwana bergerak naik dan bergerak turun, bisa menjadi besar memenuhi bumi, bisa pula menjadi kecil seukuran biji dibelah tujuh.
[10a]
Akasa itu adalah sebutan untuk langit. Yang dimaksudkan dengan langit adalah jauh dari bumi yang luas ini, jauh di atas dan kelihatan samar-samar, kelihatan biru namun sirna di kejauhan, mengumpulkan enam jenis rasa yang utama, dan termasuk kemakmuran yang ada di ketiga tingkatan bhuwana.
Apabila di dalam tubuh, Prethiwi itu berubah menjadi rasa yang langgeng. Air itu berubah menjadi yang mengalir. Teja itu berubah menjadi api, seperti lampu yang menyebabkan adanya terang. Bayu itu adalah yang membuat bisa bergerak-gerak ketika sedang berlarian. Akasa itu adalah penunggalan dari Catur Sanak [empat saudara mistis manusia]. Itulah yang berubah menjadi Panca Sila [lima dasar kesusilaan] namanya. Di dalam tubuh itulah adanya Panca Sila.
Ada pun ketika ia ada di dalam Panca Indriya [lima macam indriya], Perthiwi atau tanah itu berubah menjadi perasaan betah, perasaan asyik, dan selalu memiliki keinginan-keinginan. Apah atau air itu berubah menjadi perasaan seperti tergila-gila pada asmara atau nafsu pada lawan jenis.
[10b]
Teja atau sinar itu berubah menjadi pertemuan mata, yang mengembangkan segala yang ada dan mengembangkan Sarira Aksara [badan aksara]. Bayu atau angin itu menggerakkan seluruh indriya ketika mencari kemelekatan-kemelekatannya pada objek-objeknya di ketiga tingkatan bhuwana. Yang disebut Akasa atau udara atau langit itu adalah pertemuan dari seluruh Sad Rasa [enam jenis rasa utama] di dalam hati. Seperti itulah sifat perilaku dari Panca Indriya [lima indriya]
Unsur tanah itu ada di dalam rasa kelangen atau rasa terpesona yang menyebabkan menjadi lupa. Unsur air itu ada di dalam perasaan sedih perih. Unsur sinar itu ada di dalam sifat marah dan sifat galak. Unsur bayu atau angin itu memiliki sifat yang cepat menggerakkan. Unsur Akasa itu ada di dalam sifat-sifat kebodohan atau kedunguan. Seperti itulah sifat perilaku dari Panca Wisaya [lima kemelekatan pada objek]. Itu adalah Panca Mala [lima macam kekotoran]. Ketika ada di dalam kebaikan, maka dari Panca Sila berubah menjadi Panca Stuti [lima macam pemujaan]. Ia itulah yang berubah menjadi Panca Amreta [lima macam amerta] pada diri Sang Mahapandita. yang sudah berhasil tuntas dalam pencariannya.
Masing-masing Mala atau kekotorannya adalah Panca Mala [lima jenis kekotoran] dan Dasa Mala [sepuluh jenis kekotoran]. Ada pun
[11a]
Dasa Mala atau sepuluh kekotoran tersebut, semuanya dapat saling bertukar dengan Nawa Sangha [kelompok sembilan dewa]. Pada saatnya mengembangkan Dasa Indriya [sepuluh indriya], namanya adalah Dasa Sanak [sepuluh saudara mistis], menjadi tunggal masing-masing, termasuk pelaksanaan masing-masing tugasnya. Pada saatnya mengeluarkan apa yang disebut Mala Wisaya, maka menyusuplah ia ke dalam Nawa Sangha itu. Itulah yang dinamakan Wara Sangha, yaitu: lubang mulut, lubang kuping dua, lubang hidung dua, lubang mata dua, lubang anus dan kemaluan dua.
Pada saat ia berada di dalam mulut, Mala atau kekotorannya adalah merasakan segala rasa yang tidak enak, pada saat makan dan minum juga adalah tugasnya. Betah asyik berada di dalam lidah, tidak mau kekurangan enam jenis rasa yang ada. Pada saat berkata-kata, tidak bersedia kalah kata-katanya. Segala yang seram dan menakutkan itu dijadikan sebagai isi dari ucapan-ucapannya, dan seluruhnya
[11b]
menyebabkan perasaan lara hati pada manusia-manusia sesamanya, tidak ubahnya bagaikan terowongan yang berlorong-lorong pikirannya yang bingung itu, dengan sesama teman-temannya asyik betah mereka memuja-muja pada kekayaan, pada saat sedang dalam keadaan hina dina sekali pun. Seperti itulah sifat perilaku dari Mala atau kekotoran, ketika mulut sedang berbohong di dalam kata-katanya “kurang dowang”.
Ada pun sifat perilaku dari Mala pada saat sedang mendengarkan, yaitu merasa asyik betah mendengarkan segala macam ucapan yang tidak ada memiliki bukti, dan mendengarkan segala macam ucapan yang menyebabkan hati merasa sedih lara. Seperti itulah kemelekatan kuping pada objek-objeknya. Dan juga sifat perilaku dari Mala ketika sedang berada di dalam hidung, Malanya adalah mengendus atau mencium bau-bau dari segala yang harum-harum sampai yang memiliki bau amis. Seperti itulah kemelekatan hidung pada objek-objeknya, juga menyebabkan perasaan lara pada pikiran. Dan juga ketika Mala itu ada di dalam kedua mata, pekerjaannya adalah menyaksikan segala sesuatu yang bentuknya tidak bagus, yang rupanya menakutkan,
[12a]
yang membuat hati merasa ciut, melihat segala macam warna-warni, semuanya itu menyebabkan hati merasa lara. Seperti itulah sifat perilaku dari Mala ketika sedang berada di dalam kedua mata.
Ada pun sifat perilaku dari Mala ketika sedang berada di dalam pantat, Malanya atau kekotorannya adalah mengeluarkan kotoran yang tidak sesuai dengan tempatnya. Mengeluarkan kentut di tempat-tempat yang tidak patut, juga itu menyebabkan hati merasa lara. Seperti itulah sifat perilaku dari pantat. Dan ketika Mala itu ada di dalam kemaluan, sebagai sifat perilaku dari Malanya adalah Paradhara, yaitu tidak lagi mempertimbangkan istri larangan, istri kerabat, dan sanak keluarga serta teman. Pokoknya asalkan mendapatkan perempuan.
Kata-katanya, “Ah ini perempuan cantik, perempuan inilah yang aku senangi!” Seperti itulah angan-angan Si Paradhara, yang tidak lagi memiliki pertimbangan-pertimbangan sama sekali. Dan juga mengeluarkan kencing tidak sesuai dengan tempatnya. Itu juga bisa menyebabkan hati merasa lara, serta menyebabkan adanya duka, adanya halangan atau hambatan, adanya bencana atau petaka, sehingga akan menjadi susahlah seluruh jagat.
[12b]
Itulah semua bentuk perwujudan dari Dasa Mala [sepuluh jenis kekotoran], yang patut diwaspadai dengan seksama oleh orang-orang yang bersungguh-sungguh hendak melaksanakan Brata di dalam jagat yang sentosa.
Ada pun ketika sedang berada di dalam Dasa Indriya [sepuluh indriya], ketika sedang berada di dalam mulut, asyik betah dengan ucapan-ucapan yang memberikan perasaan senang dan segala yang enak-enak untuk didengarkan. Tidak ubahnya bagaikan bhuwana ini sedang menurunkan hujan deras. Seperti itulah cara-caranya mengeluarkan Tutur Samahita, dan segala pahala yang baik dan yang menenteramkan hati. Tidak ubahnya seperti terowongan, dan asyik betah dengan rasa yang enak-enak, segala jenis Sadrasa [enam jenis rasa utama], dan rasa yang menyenangkan di dalam lidah. Tidak memiliki keinginan untuk mengeluarkan ucapan-ucapan yang tidak baik. Tidak memiliki keinginan pada segala macam yang tidak memberikan pahala di dunia ini. Termasuk tidak menginginkan keburukan-keburukan yang ada di muka bumi mandala ini. Terlebih lagi Satyawaditah adalah sebagai isi dari ujaran-ujarannya. Tidak senang dengan ucapan-ucapan yang panjang-panjang dan lebar-lebar. Seperti itulah sifat perilakunya ketika sedang berada di dalam mulut.
Adapun sebagai sifat perilaku dari Mala ketika sedang berada di dalam
[13a]
kedua telinga, asyik betah mendengar-dengarkan segala macam ucapan yang baik-baik, yang memberikan rasa senang, dan setiap ucapan yang membuat hati merasa lega, mengembangkan pekerjaannya yang baik, membuat kesusilaan dan tempat pertapaan yang baik di tengah dunia ini, tekun mendengarkan ajaran-ajaran yang dituturkan. Karena dari ajaran-ajaran itulah mendapatkan kebaikan. Semua itulah yang diresapkan di dalam hati, tanpa ada perasaan ragu-ragu. Itulah yang kualitasnya utama di dalam pertemuan bunyi-bunyi gamelan yang semuanya indah-indah didengar di dalam bhuwana. Seperti itulah sifat perilaku-perilaku dari telinga, ketika telinga itu membuat hati menjadi bebas dari ikatan-ikatan dunia.
Dan ketika Mala atau kekotoran tersebut sedang berada di dalam hidung, sifat perilakunya adalah senang mengendus atau senang mencium segala macam bau yang dapat memberikan rasa enak-enak, dan mengendus segala macam bau yang harum-harum di dunia ini sebanyak-banyaknya. Dan juga perilakunya mengeluarkan rasa ketagihan pada objek-objek yang harum-harum. Sebagai pahalanya adalah menyebabkan hati merasakan kesenangan-kesenangan. Seperti itulah sifat perilaku dari Mala atau kekotoran, ketika Mala itu sedang berada di dalam hidung.
Adapun ketika Mala atau kekotoran tersebut sedang berada di dalam kedua mata, sifat perilakunya adalah asyik betah menonton
[13b]
segala yang baik-baik, segala yang indah-indah, yang bentuknya rupawan. Segalanya itu menyebabkan berkembangnya rasa perkasa, rasa ingat pada tubuh, dan ingat pada baik-buruk, tidak ingin melihat yang buruk rupa. Seperti itulah perilakunya ketika sedang berada di dalam mata. Itu jugalah yang memunculkan adanya rasa senang dan memunculkan rasa enak di dalam hati senantiasa, dan kemudian mengembangkannya di dalam jagat sakala [nyata, ada di dalam hukum waktu].
Dan ketika Mala atau kekotoran itu sedang berada di dalam pantat, sifat perilakunya adalah mengeluarkan kotoran, serta mengeluarkan kentut pada ruang dan pada waktu yang sesukanya. Namun tidak berkeinginan ia mengotori sesama manusia, semanis madu juga ulah perilakunya di dalam pantat. Seperti itulah sifat perilakunya di dalam bhuwana, yang menyebabkan adanya perasaan senang pada masyarakat. Ada pun sifat perilaku dari Mala, ketika Mala itu berada di dalam kemaluan, sifat perilakunya adalah mengeluarkan air kencing, dan mengeluarkan Sukla Swanita [sperma pada laki-laki dan sel telur pada perempuan]. Itulah pekerjaan pokoknya. Dengan istrinya saja ia menemukan atau mendapatkan hasrat asmaranya.
[14a]
Tidak memiliki hasrat dengan perempuan atau istri dari orang lain. Kalau ia seorang istri, ia tidak menginginkan laki-laki atau suami orang lain. Apabila mengeluarkan sperma dan mengeluarkan sel telur, serta mengeluarkan air kencing, maka disesuaikan dengan ruang dan disesuaikan dengan waktu, dan sesuai pula dengan perhitungan tentang sifat-sifat baik-buruk hari berdasarkan posisi bulan. Seperti itulah perilaku dari Mala atau kekotoran, ketika Mala itu berada di dalam kemaluan.
Ada pun ketika Mala itu sedang berada di kedalaman pusat hati, sifat perilakunya adalah seperti sedang mengembara ke sana ke mari di laut dan di gunug, bersenang-senang menurut sesuka hatinya, mandi, berkeramas, membersihkan diri. Yang dilakukannya adalah senantiasa menghias diri sendiri. Seperti itulah kemelekatan dari objek-objek Dasa Indriya [sepuluh indriya] di dalam jagat sakala yaitu jagat yang ada di dalam hukum waktu, ingin mendapatkan keindahan-keindahan ketika masih hidup.
Ada pun sifat perilaku dari Dasa Indriya [sepuluh indriya], tatkala ia berganti posisi menjadi Dasa Sila [sepuluh dasar kesusilaan], ketika sedang berada di dalam mulut, tidak sampai dilekati oleh ucapan-ucapan yang baik dan ucapan-ucapan yang buruk, dan tidak dilekati oleh rasa yang enak maupun rasa yang tidak enak. Pada saat ia sedang berada di dalam telinga
[14b]
tidak betah ia mendengarkan segala macam ucapan yang baik maupun ucapan yang buruk, baik yang ada phahalanya maupun yang tidak memiliki pahalanya. Tatkala ia sedang berada di dalam hidung, ia tidak dilekati oleh segala macam bau-bauan yang harum maupun bau-bauan yang busuk. Tatkala ia sedang berada di dalam mata, ia tidak dilekati oleh segala macam bentuk yang indah-indah maupun bentuk yang buruk-buruk, bentuk yang rupawan, atau pun rupa yang jelek-jelek.
Ketika ia sedang berada di dalam pantat, ia mengetahui ruang dan mengetahui waktu yang patut untuk membuang kotoran, sehingga tidak menyebabkan adanya baik buruk dari sisa-sisa perbuatannya. Ketika ia sedang berada di dalam kemaluan, maka sesuai dengan aturan Prayoga, ketika mengeluarkan air kencing sesuai dengan tempat, dan tidak dilekati oleh objek-objek dari lidah kemaluan, baik yang memberikan rasa enak maupun yang rasanya tidak enak.
Apabila ia sedang berada di dalam budhi dan Manah [pikiran], ia tidak akan memikirkan atau mengkhayalkan segala macam Sadrasa [enam jenis rasa utama], tidak dilekati oleh segala yang mengikat, tidak lagi “berbuat” di dalam dunia ini, tidak lagi ada rasa senang-menyenangi dan tidak lagi ada rasa benci-membenci. Sebagai sebutannya adalah orang yang tidak memiliki rasa betah dan tidak memiliki rasa iri di dalam hatinya, tidak pula memiliki rasa takut,
[15a]
tidak memiliki rasa berani. Namun bersifat kukuh jugalah ia manakala sedang menegakkan hati yang suci dan hati yang bersinar benderang, sehingga menyebabkan adanya rasa bahagia dan keadaan yang terang benderang. Pikiran yang ada dalam keadaan bebas dari ikatan dunia menjadi sebagai “pelayan” di dalam melaksanakan Brata [janji diri] dan Tapa [pemanasan dari dalam]. Tidak pula lupa akan Mantra-Mantra, Puja, Yoga, dan Samadhi, yang berdasarkan pada ajaran-ajaran yang ada di dalam Hyang Wedha Agama, dan termasuk ajaran Tutur Prakasa.
Yang namanya Dasa Mala [sepuluh jenis kekotoran] itu, semuanya itu disatukan di dalam pikiran. Adapun Panca Mala [lima jenis kekotoran] itu, disimpan di dalam lubang yang ada di dalam hati. Tri Mala [tiga jenis kekotoran] itu dienyahkan di dalam terang berderangnya hati. Seperti itulah tata cara orang yang sudah tuntas mengetahui. Sedangkan apabila tidak demikian daya upaya Sang Pandita, maka jelaslah akan menggiring menuju ke dalam kawah, keadaannya merana terikat pada objek-objek indriya. Itulah yang mengikuti perilakunya bersama ke neraka
[15b]
loka, atau alam tingkatan neraka, bergelut di dalam kubangan lumpur, tenggelam di dalam kawah lumpur berupa kotoran. Itulah Neraka namanya. Benar-benar orang yang besar keterikatannya pada kesedihan yang menjerat membelenggu. Yang dimaksud dengan Kawah Ndut Blegada adalah perbuatan yang sekarang dilakukan dan sekarang pula didapatkan pahala dari pekerjaannya ketika masih hidup, dituntun oleh besarnya sifat loba serakah, menderita di dalam kesusahan. Yang dimaksudkan dengan Kawah Tai adalah keadaan ketika tidak ada Dewa maupun Kala yang memiliki rasa kasihan kepada dirinya, apalagi yang namanya Yaksa, dan Sura. Apa pun yang dicarinya tidak akan berhasil ditemukan. Itulah objek dari pataka yaitu menemukan kesengsaraan namanya.
Yang dimaksudkan dengan Kawah Gni [kawah api] adalah bentuk perwujudan dari amarah yang sangat besar, yang tidak mempan lagi ditebus atau ditahan-tahan. Itulah bentuk perwujudan dari Gêntuh Apuy, tidak ubahnya seperti orang yang tertimpa kutukan dari Hyang, senantiasa dalam keadaan susah,
[16a]
mengeluarkan panas membara dari dalam tubuhnya, tidak pernah mengenal rasa yang menyenangkan, menyebabkan menjadi Wyakulà Jñana, yaitu memiliki budhi yang selalu bingung, berhayal-khayal tentang sesuatu yang tidak pernah ada. Itulah objek dari kawah api, disebut panas membara.
Orang yang perilakunya seperti itu, tidak urung ia akan menyebabkan kesusahan pada orang-orang di ketiga tingkatan jagat. Banyak di antaranya yang seketika didatangi oleh Hyang Mretyu, yaitu dewa kematian, bisa jadi kematian dirinya segera akan datang, tidak bisa tidak ia akhirnya bertengkar, setelah itu akan menjadi penyakit. Jelaslah ia tidak urung akan jatuh di dalam Rorawa desa. Benar-benar seperti itulah yang bernama kawah Tambra Gomukha.
Yang dimaksudkan dengan kawah Tambra Gomukha adalah sebuah jambangan besar memiliki muka seperti khewan lembu, disebut
[16b]
orang yang saling berhadap-hadapan saling salah ucap, salah harapan, salah pikiran, salah tingkah, semuanya itu menyimpang dari ajaran dharma, melempas dari ajaran kesusilaan yang disebut Agama. Lembu itu adalah representasi dari Dharmanya. Yang dimaksudkan dengan Dharma adalah kesejatian dari manusia. Amukha artinya cipta dan angan-angan, sama-sama salah di dalam mengeluarkan kata-kata.
Jambangan artinya yang ke luar dari dalam mulut. Apabila seperti itu, tidak bisa tidak akan menyebabkan pertengkaran-pertengkaran, saling mencela dengan sesama teman-temannya, tidak bisa tidak itu akan memunculkan penyakit yang berubah menjadi huru-hara pada akhirnya. Setelah manusia itu senantiasa dalam keadaan huru hara di dalam bhuwana, karena semuanya bingung tapi saling mengaku mengetahui, begitu katanya di dalam angan-angan. Itulah sebabnya sama-sama tidak merasa sudi apabila dikalahkan kata-katanya masing-masing. Sangat besar sekali
[17a]
rasa dendamnya apabila dikalahkan di dalam mengeluarkan kata-kata. Seperti itulah keadaan dari pikiran manusia yang pikirannya itu diselimuti oleh Kali Sanghara Bumi, atau jaman kehancuran (di) bumi.
Tidak ubahnya seperti orang yang kacau perasaan pikiran dunia, semuanya melempas dari kebaikan Dharma Sang Hyang, dan Sila Adi Krama, sebutannya adalah orang yang tidak bersedia mengikuti inti rasa dari isi ajaran shastra. Itulah yang sepatutnya dijadikan sebagai keyakinan oleh manusia.
Terus-terusan perilakunya menyimpang dari ajaran dharma, itulah sebabnya menjadi tersesat tidak memiliki arah tujuan bergerak sembarangan asalkan ini dan asalkan itu, karena sama-sama mengusung kesenangan angan-angan tentang dharmanya di dalam tubuh, tidak memiliki keinginan untuk mengikuti norma saling kasih-mengasihi kepada manusia sesamanya. Tidak bisa tidak, maka banyaklah yang tingkah lakunya saling sodok-menyodok, saling pukul-memukul, saling mencedera-mencederai teman-teman sesamanya. Semuanya mereka itu saling mencari sarana pada yang lainnya.
Pada saat seperti itu, ulah perilaku
[17b]
manusia tidak ubahnya seakan-akan bhuwana ini sedang jatuh ke dalam neraka, begitu sebutannya. Terutamanya adalah tubuh ini. Itulah yang menyebabkan “hujan kesalahan”, pada saat hujan itu berjatuhan di ketiga tingkatan jagat, maka akan tumbuhlah segala macam benih-benih larangan. Tidak bisa tidak akan berubah menjadi panas membara dunia ini, tidak ubahnya seperti sedang terjadi hujan api. Hanguslah ketiga tingkatan bhuwana ini. Berkembangah merana dan wabah di muka bumi. Muncullah penderitaan dan kehancuran, berupa wabah berbagai jenis penyakit. Banyaklah orang mati, tidak sesuai dengan perhitungan masanya akan mati.
Pada saat manusia keadaannya seperti itu di bhuwana, itulah dasar alasannya menemukan kesengsaraan namanya. Tidak bisa tidak, pastilah terkena petaka atau bencana, oleh karena yang menjadi guru tidak mengenal anak-muridnya, anak-murid tidak memiliki rasa bakti kepada guru-gurunya. Apabila sudah seperti itu keadaaannya, niscaya hancur-leburlah bhuwana, begitu sebutannya. Karena yang namanya kerabat bukan lagi sebagai kerabat, yang namanya sahabat bukan lagi sebagai sahabat, yang namanya sanak keluarga bukan lagi sebagai sanak,
[18a]
tiada tutur kasih di antara anak dan bapa. Seperti itulah kondisi pikiran manusia yang menempatkan shaktinya pada perempuan dan pada harta perak semata-mata di dalam hatinya. Jelas semuanya itu kehilangan buddhi yang bersifat damai, susah sekali perbuatannya akan berbuah kebaikan.
Pada akhirnya para musuh pun datang membuat bencana setiap saat. Apabila sudah seperti itu keadaannya, maka jelaslah itu adalah keburukan. Tidaklah seperti itu tingkah laku manusia pada manusia lain sesamanya. Itulah yang disebut orang yang tidak sesuai dengan, atau mengyimpang dari, kebajikan Dharma Sang Hyang. Karena mereka itu disebut-sebut sebagai anak-anak dari Hyang, pada jaman yang lebih dahulu dari yang disebut dahulu, kemashuran beliau di ketiga tingkatan bhuwana.
[18b]
Ia itu disebut sebagai shakti mahawishesa di dalam bhuwana ini. Ia itu disembah-sembah, namun terdapat juga sedikit perbedaan-perbedaannya dengan teman-temannya yang sama-sama menjadi Hyang, mereka secara silih bergantian berada di bawah dan berada di atas. Bentuk rupanya tidak ubahnya seperti orang yang sudah selesai tuntas dalam hal Aksara Shastra. Sama-sama boleh saling bergantian menempatkan diri di atas dan menempatkan diri di bawah.
Seperti itulah sesungguhnya perumpamaan sifat-sifat dari perilaku Hyang, perilaku yang sesuai Dewa Guru Sesuhunan yang ada di kiri dan yang ada di kanan, di dalam perkumpulan Bhatara Bhatari dan perkumpulan Dewata Dewati dan termasuk Gandharwa Raja. Tidak ada sedikit pun perilakunya yang menyebabkan sakit dan pertengkaran, namun dengan saling kasih-mengasihi mereka secara silih bergantian menjadi sebagai pemucuk, sesuai dengan segala karya
[19a]
dan pikiran dari Hyang Dewa Guru.
Seperti itulah sifat perilaku para dewa dewata yang senantiasa menunggal. Semuanya sesuai tempat kedudukannya mengikuti perilaku dan pikiran. Itulah sebabnya, apabila disebut sebagai Hyang Shiwa Guru Tunggal, karena tunggal atau satu ucapannya, sebagai isi dari Tri Bhuwana [tiga tingkatan bhuwana]. Lagi pula sebagai bentuk perwujudan dari bhatara. Itulah sebab-musababnya manusia itu, siapa orangnya yang tidak memiliki keinginan untuk berbakti kepada Hyang?
Yang dimaksudkan dengan berbhakti kepada Hyang adalah termasuk seketurunan anak sekerabatan dan sahabat, bersatu di dalam Jnana saling asih-mengasihi pada manusia sesamanya. Jelas semuanya akan mendapatkan halangan besar, senantiasa ada di dalam kesusahan, mendapatkan hukuman dari Hyang, keadaannya diikat dan diperangi oleh musuh-musuh yang buruk hati. Tidak bisa tidak,
[19b]
maka akan menjadi dendam amarah. Seperti itulah buah pahala yang didapatkan oleh orang yang tidak memiliki keinginan untuk mengikuti ajaran-ajaran kebaikan Dharma dari Hyang, menurut cerita pada jaman dahulu kala.
Ada pun orang yang telah berhasil mengikuti kehendak beliau Hyang Guru Tunggal, orang itu memiliki keinginan untuk mencurahkan rasa kasih mengasihinya di dalam bhuwana, menyatukan Jnana dengan para manusia sesamanya, tidak lagi ia memandang yang kedudukannya ada di bawah atau pun yang lebih utama, kecuali demi bhuwana dan demi tubuh. Karena orang yang seperti itu sebutannya adalah utama, apabila telah mengetahui persatuan antara Gana Guna dan perhitungannya masing-masing menurut Hyang Guru. Apabila telah seperti itu keadaan dari pikiran manusia di dalam bhuwana, itulah yang dinamakan berbhakti kepada Hyang. Sudah tentu orang seperti itu akan berhasil setiap pekerjaannya, dan memiliki kewibhawaan di dalam dunia, karena memang dari kehendak Sang Hyang. Itulah sebabnya sifat perilakunya
[20a]
digugu, mereka mendapatkan kewibhawaan dan kebahagiaan yang tidak akan kembali pada duka, bahkan akan sampai di alam Moksa dan alam Acintya Nirwana [kebebasan yang tidak dapat dibayangkan dengan pikiran].
Kedua alam itu apabila ada orang yang benar-benar berbhakti kepada Dewa-Dewi, dimohonlah masing-masing sungguh-sungguh dikasihi oleh Hyang Ardhanareshwari, segala yang dimohon dibawakan kepada masing-masing, segala keinginannya akan berhasil dengan baik, bahkan mendapatkan kemashuran di muka bumi mandala, menjadi isi pembicaraan orang di ketiga tingkatan bhuwana, menang melawan musuh-musuh, karena dipuji oleh Dewa, Kala, Manusia Shakti.
Singkat kata, setiap orang sesungguhnya bisa menjadi satu di dalam dunia ini dengan sesama manusia lainnya. Itulah yang dinamakan berbhakti kepada Hyang, tidak ada yang lain, orang itulah yang akan mampu menjadi sebagai
[20b]
pemucuk dari ketiga tingkatan bhuwana. Apabila mencari buah pahala dari perbuatan, maka akan berhasil dengan baik secara sakala atau secara nyata, baik sekarang maupun pada akhirnya di masa depan. Begitulah keadaannya perilaku seperti itu.
Apabila secara sakala, semata-mata akan banyak kebahagiaan yang dinikmati olehnya setiap saat. Sedangkan pada saat datangnya kematian, yang didapatkannya secara niskala adalah lebih utama dari pada sorga. Sebutannya adalah bersatu-padu dengan Hyang Suksma Licin. Tidak bisa dikatakan dengan kata, tidak bisa dipikirkan dengan pikiran, bebas lepas dari dikotomi suka duka dan panas dingin, semata-ata ada di dalam keadaan yang diam dan hening. Banyak yang dapat dinikmatinya. Tidak bergerak ke atas, tidak bergerak ke bawah, tidak bergerak ke empat penjuru mata angin. Apabila orang ini menjelma kembali sebanyak sebelas kali, orang ini akan mendapatkan apa yang disebut sebagai Dira Bhawana, yaitu keadaan yang semata-mata menikmati kebahagiaan, dikelilingi oleh banyak warga, terlebih lagi ia menjadi shakti wisesha di dalam jagat yang makmur sentosa, ucapan-ucapannya selalu terbukti
[21a]
karena sebagai bentuk perwujudan dari kesejatian. Setiap yang dicarinya dengan bersungguh-sungguh, semuanya akan berhasil. Setiap orang yang mendekatkan diri untuk belajar kepadanya, akan mendapatkan sorga yang utama, dan menjadi yang utama di dalam penjelmaan. Seperti itulah buah pahala yang didapatkan dari pelaksanaan Tapa [pemanasan dari dalam] yang benar dan pelaksanaan Brata [janji diri] yang benar, yang terdahulu pada penjelmaan sebelumnya.
Ada pun orang yang tidak ada memiliki kinginan untuk berbhakti kepada Hyang, sebagaimana dahulu kala di dalam cerita, pada masanya usia tua akan menjadi “obatnya” alam neraka, begitu sebutannya, yaitu sebagai isi dari Rorawa. Biar pun sebanyak sebelas kali menjelma kembali, maka tetap saja akan menemukan kawah kembali, dan akan menjadi sebagai isi dari lumpur kawah itu, akan menulari seluruh mandhala, dan didatangi oleh Dewa Kematian, serta dimakan oleh anjing.
Seperti itulah buah pahala dari berperilaku yang disebut Papa namanya. Itulah lantarannya akan menemukan kawah di dalam kesenangan-kesenangan tubuh, karena setiap saat ditimpa oleh ucapan-ucapan yang buruk, ia tidak merasa takut bahwa perilakunya meskipun diera atau dicela.
[21b]
Semata-mata lantaran mencari kesenangan tubuh, tiada lain kebisaannya adalah menyerang teman-teman sesamanya, semata-mata membenarkan dirinya menyerang teman-temannya. Seperti itulah sifat perilaku dari manusia yang tidak memiliki keinginan mengikuti ajaran dharmanya Hyang. Sekujur tubuhnya adalah bentuk perwujudan dari kutukan sebagai hukuman dari Hyang.
Seperti itulah keburukan-keburukan dari orang yang tidak ingat pada Kawiwitan [asal usul, keleluhuran] namanya, pada awal mula adanya dahulu, yaitu pada penjelmaannya terdahulu. Karena telah ada perjanjian atau ketentuan-ketentuannya pada Hyang, maka pada saat sedang melakukan pemujaan di gunung Sumeru dahulu kala pada awal adanya cerita, pada saat itulah muncul sabda dari Hyang Shiwa Guru Tunggal, yaitu pada awal adanya manusia.
Ujar beliau adalah seperti berikut ini: “Ai kamu para manusia semuanya, dengarkanlah ini adalah ajaran diriku kepada kalian semuanya. Hendaknyalah disampaikan semua ketentuan-ketentuan dari diriku ini
[22a]
kepada anakku, mulai dari sekarang sampai di kelak kemudian hari. Sebagai dasarnya adalah tingkah laku yang tidak bertentangan dengan pikiran dan tidak bertentangan dengan diriku. Mampu menunggalkan ketiga-tiganya itu di dalam bumi mandala, yaitu yang bernama bhuwana tiga [tiga tingkatan bhuwana] disatukan di dalam Raga Shunya [sepi dari kesenangan] menjadi tunggal. Seperti itulah pada mulanya, ada yang disebut sebagai manusia tunggal, oleh karena dirinya mengetahui bagaimana caranya menunggalkan tubuh dengan manusia sesamanya dan dengan segala isi dari bumi ini. Karena sesuai dengan sifat perilaku dari guruku Hyang Tunggal, sebutannya adalah orang yang tidak ada perbedaannya di dalam semua jagat.
Dan juga Manusia Shakti adalah sebagai sebutan dirimu yang lain, karena sangat utama bersikap kukuh pada perkerjaan yang baik, terutamanya dalam segala pekerjaan, tahan terhadap tantangan panas-dingin dan suka-duka, utamanya lagi pikiran yang bersifat kukuh senantiasa,
[22b]
sebagai jalan bagi dirimu apabila hendak mencari atau menemukan diriku. Sebagai pelaksanaan dari Bratanya adalah ajaran Panca Sila, yaitu lima dasar kesusilaan. Sebagai Bratannya adalah dasar Dasa Sila, yaitu sepuluh dasar kesusilaan. Sebagai tempat pertapaannya adalah Pacatu, yaitu pemberian suguhan, sebagai Brata ditujukan kepada keempat saudara mistis.
Sebagai bumimu adalah Raga Shunya [sunyi dari kesenangan]. Sebagai gunungnya adalah rasa bakti kepada guru. Sebagai jalannya adalah pikiran yang berbahagia. Sebagai tamanmu adalah tidak lain kebenaran yang lurus. Sebagai tempat pematangan dirimu adalah perasaan hati yang damai. Tempat permandian dirimu adalah keadaan yang diam dan hening. Sebagai langit adalah pandangan mata yang manis. Sebagai buahnya adalah ucapan kata-kata yang manis.
Sebagai empat samudera orang yang tidak melulu makan dan minum. Sebagai Sanggar Kemulan [sanggar tempat memuja leluhur] dirimu adalah Hyang Tri Shunya [tiga tingkatan alam shunya]. Sebutannya adalah orang yang tidak terkena pengaruh dari shaktinya perempuan dan shaktinya perak [harta].
Seperti itulah hendaknya yang dilakukan di dalam bhuwana sebagai sarana dirimu, maka niscaya akan berhasillah dirimu sebagai bentuk perwujudan dari Manusia Shakti. Karena dari
[23a]
rasa kasih diriku kepada dirimu, itulah sebabnya akan berhasillah dirimu bersatu padu dengan diriku. Diriku ini bersatu padu dengan Manusia Shakti.
Dalam hal kependetaan dirimu, apabila satu atau tunggal Tattwanya dengan Tattwa diriku, itulah sebagai jalan dirimu. Benar-benar itu adalah jalan dirimu apabila benar-benar bersatu pada diriku, apabila memberikan anugerah sekehendak dirimu, baik berupa kesaktian maupun berupa keteguhan, baik berupa kehalusan dari makhluk maupun berupa kawishesan, menunggalkannya di ketiga tingkatan bhuwana. Apabila terbang membubung tinggi di langit, apabila berenang atau tenggelam di dalam air, apabila maya atau tidak maya, kelihatan tidak kelihatan di dalam tubuh yang tidak ubahnya adalah bhuwana ini, sekejap mampu berganti-ganti. Tidak ubahnya seperti Maya Siluman, bisa datang tanpa diketahui asal dari kedatangannya. Bisa hilang begitu saja dari tempatnya duduk. Samar-samar tidak bisa diketahui ke mana arah perginya. Apabila dalam hal kewibhawaan di dalam jagat sekala [jagat yang ada di dalam hukum waktu] dan menjadi sebagai seorang pandita dalam hal Dhanur
[23b]
Wedha [ilmu peperangan], dan termashyur dalam hal senjata, berani atas dasar hati yang kukuh, sebagai pelulut hidup di bhuwana. Itulah sebagai buah pahalanya yaitu kebaikan di dunia. Dan diriku apabila menyuruh dirimu mempelajari Shastra, mendekat-dekatkan diri pada inti rasa dari ajaran-ajaran diriku tentang tatanan segala macam Tattwa, Tutur, Aji, Aksara, sehingga sama-sama mengetahui bahwa semua itulah sarana untuk menyembah kepada diriku, segala yang dimintanya benar-benar apabila berhasil, itu sudah sesuai dengan Sudharma diriku ini.
Seterusnya diriku ini memberikan nama kepada dirimu yaitu Manusia Shakti, bernama Shri Aji Japana, sebagai pemucuk dari lokacara, dipandang sebagai manik permata suci Sang Pandita Catur Asrama [pendeta dari empat tahapan kehidupan sebagai sebuah ashrama]. Mulai dari sekarang inilah ketentuan-ketentuan diriku kepada dirimu manusia sampai pada saatnya kelak di kemudian hari, pada akhirnya sampai kepada anak cucu keturunan dirimu, apabila mereka itu meneruskan
[24a]
dan bisa mengikuti sudharma diriku sebagaimana dahulu pada awal dari adanya cerita. Sudah jelaslah diriku ini siap memberikan rasa kasih kepada diri mereka. Seperti itulah kata-kata dari Bhatara pada saat itu, yaitu pada awal mula adanya manusia sebagaimana dahulu pada awal adanya cerita.
Maka dari itu wahai anakku, ikutilah sekarang berbakti kepada Hyang, aku dan anakku sampai saat ini, diikuti oleh lokacara [kebiasaan masyarakat] yang tidak melempas atau tidak menjauh dari sudharma Sang Hyang. Tingkah laku seperti itu namanya, itulah yang dinamakan manusia keturunan Hyang. Karena sebagai anak-anak dari Hyang Shiwa Guru Tunggal, dan diakui sebagai sanak keluarganya Hyang Sasuhunan Dewa Guru. Seluruh keturunan sanak keluarga sebutannya adalah “putera dharma” oleh Bhatara. Seperti itulah buah pahala orang-orang yang memiliki rasa berbhakti kepada beliau. Orang-orang itu tidak melupakan
[24b]
apa yang dinamakan Tutur Kamimitan [ajaran tentang asal-usul]. Terlebih lagi, ia itu adalah asal mula dari adanya penjelmaan manusia. Beliau memelihara awal mula dari adanya kewangsaan, karena awal mula dari adanya manusia sebhumi, sesungguhnya adalah satu, menurut orang yang mengetahui.
Oleh karena itu, segala sesuatu itu adalah tunggal atau satu di seluruh dunia. Semuanya akan berhasil dalam setiap tujuannya, tercapai yang diharapkannya yaitu kebaikan di dalam puri, berkat Dewa Lingga. Benar apabila semua sifat perilaku dari bhawanya di dalam bhuwana dijaga oleh Hyang Mahaluhur, niscaya tidak akan mendapatkan penderitaan baik secara sakala [di dalam waktu] maupun secara niskala [di luar waktu], pahala dari meniru atau menuruti seratus ribu, yaitu satu masing-masing.
Disebut sebagai Manusia Tunggal, karena selalu ingat dan sadar tentang berguru kepada Hyang Tunggal. Siapa orang yang tidak mau mengikuti sudharmanya Hyang, orang yang sifat perilakunya seperti itu, sudah jelas akan mendapatkan kesengsaraan, kebingungan, ada dalam keadaan tersesat, terbalik, senantiasa merasakan kecemasan baik secara sakala maupun secara niskala,
[25a]
tidak mendapatkan sari dari rasa yang enak-enak, dirinya tidak ubahnya sebagai kumpulan dari kawah-kawah. Nama sebutannya adalah Si Wyakula Jnana, yaitu orang yang memiliki budhi bingung, rupa wajahnya buruk tidak menarik, tidurnya tidak bisa tidak seperti tidur ayam, semata-mata terkena kutukan, ia menandang hukuman dari Hyang, ia berdosa karena tidak ingat pada awal mula dari asal usul ke-manusia-anya, yaitu pada saat kelahirannya yang terdahulu.
Yang dimaksudkan dengan puncak dari Hyang Agung yang sangat tinggi adalah Hyang Tunggal, terlebih lagi ia mahawibhawa. Yang dimaksudkan dengan orang kaya emas perak perhiasan raja-raja, tidak kekurangan dalam segala Upabhoga yang disandangnya, apabila tidak benar sudah jelas akan mendapatkan penderitaan juga. Hatinya menyimpang dari sudharmanya Sang Hyang, akibat dari melupakan penjelmaannya, begitulah sebutannya. Orang yang tidak ingat pada ketentuan-ketentuan dari Sang Hyang pada jaman dahulu, kata-katanya: apabila ada orang yang dengan sepenuh-penuh hatinya berbakti dan orang itu mendekatkan dirinya
[25b]
dengan bersaranakan pikiran dan ciptanya mengikuti sifat-sifat dar sudharmanya Hyang. Para dewa juga setia beliau kepada orang yang berbakti. Itulah yang dinamakan sebagai Dewa Nora Baya.
Menurut beliau yang membicarakan [ajaran bhagawan] Byasa, ketika sedang bercerita tentang Astina. Kalau orang selalu menyimpang dari sudharmanya Hyang, sebutannya adalah orang yang tidak benar-benar berbhakti. Itulah yang namanya manusia yang hebat keburukannya, sebagai bentuk perwujudan dari Dorakala pada jaman Kali Sanghara namanya. Tidak ubahnya sebagai kumpulan dari keburukan-keburukan dan segala bencana memenuhi. Sebutannya adalah orang yang bertengkar, baik budhi maupun pikirannya terbatas hanya pada dirinya. Asyik betah ia mengakal-akali manusia sesamanya, ucapannya berbohong, mendusta-dustai sahabat-sahabatnya, tidak pernah ingat pada tubuhnya sendiri, karena berperilaku buruk terhadap kebaikan. Ketika sudah sampai penuh kekotoran-kekotorannya, ia pun menjadi tersisih dari sahabat-sahabatnya, saling caci-mencaci, bencana-membencanai
[26a]
oleh karena pekerjaannya selalu berhubungan dengan keburukan-keburukan. Samalah ia dengan orang yang serakah pada harta benda. Mereka semuanya merasa kenyang mabuk dipuji-puji, tidak merasa gentar walaupun mendapatkan hukuman. Pokoknya asalkan ia mendapatkan sarana untuk memuaskan kemelekatan indriya-indriyanya sendiri, tidak bersedia mengalah.
Seperti itulah buah pahala orang-orang yang melupakan ke-manusia-an dirinya. Mereka terikat pada semua indriyanya. Mereka terbelenggu oleh penderitaan yang besar. Mereka selalu ada dalam keadaan susah. Di antara semua pekerjaan yang baik, pekerjaannya hanyalah kelangenan [terpesona dan ketagihan]. Apa saja yang dicarinya tidak pernah berhasil ditemukan. Mereka menyimpang dari kebaikan.
Oleh karena itu, menjadi orang atau manusia namanya, janganlah dirimu sampai tidak melakukan perbuatan baik, yaitu mengikuiti segala ajaran beliau Sang Hyang Aji. Itulah yang patut diikuti. Apa saja sebagai buah pahalanya pastilah akan berkembang menjadi kebaikan. Orang yang kesadarannya sudah menjadi sama atau setingkat, mengembangkan kebaikan baik sekarang maupun nanti
[26b]
sampai pada saat datangnya kematian di kelak kemudian hari. Meskipun tentang Kama dan Artha, ia juga akan berhasil. Sesungguhnya Dharma jugalah sebagai puncak dari perilaku terlebih dahulu. Apabila sudah mendahulukan Dharma seperti itu, jelaslah akan didapatkan juga Kama dan Artha. Sehingga dengan demikian, akan menjadi baiklah penjelmaan dirimu kemudian pada akhirnya.
Apabila menyuruh agar mencari dan mendapatkan Artha dan Kama, tapi menyingpang dari tata kesusilaan, janganlah dirimu mau menurutinya. Itu namanya bencana. Karena tidak akan memberikan hasil sesuai dengan budhi yang dharma. Adapun yang patut dilakukan, janganlah sampai tidak mendapatkan buah pahala yang baik, baik secara sakala maupun secara niskala apalagi. Apabila dirimu bertujuan mendapatkan istri atau perak [harta], janganlah dirimu melakukan semua yang akan menyebabkan keburukan di dunia. Namun setiap yang menyebabkan pahala yang baik dan menyebabkan kebahagiaan seisi bumi,
[27a]
itulah sebagai jalanmu apabila ingin mengatasi kemelekatan-kemelekatan seluruh indriya pada objek-objeknya masing-masing. Itulah orang yang tidak menyimpang dari dasar-dasar Sila Adi Krama.
Berikut ini adalah tentang tingkatan nista, tingkatan madhya, dan tingkatan utama dari tata cara mendapatkan harta. Mendapatkan harta dengan cara bercocok tanam, berkebun di tegalan, atau di pekarangan rumah, itu dinamakan mendapatkan harta dari telapak tangan. Yang utama dari utama menurut ajaran Shastra, sebagai jalan yang ditempuh oleh para resi utama, ketika tekun mencari wibhawa dan kemakmuran.
Namun apa pula yang menyebabkan sehingga disebut utama dari yang utama? Begitu barangkali perkataan dirimu bertanya kepada diriku. Semuanya itu, wahai anakku, karena dahulu ketika sedang memulai pekerjaan bercocok tanam di sawah, memulai memotong, mulai membersihkan, mulai mencangkul, ia juga mengharapkan kasih dari Hyang Jagat Karana [yang menyebabkan adanya jagat] terlebih dahulu. Maka memujalah ia memohon anugerah dengan dasar
[27b]
pikiran yang suci nirmala. Restui hamba menanam phalawija dan segala jenis tanaman. Sebagai sarananya adalah Gaóa Wacana. Dengan cara baik-baiklah olehnya mencari dan mendapatkan wibhawa serta upabhoga di bumi ini. Sebagai jalannya adalah bayu yang langgeng, yaitu sikap yang tahan menghadapi keadaan panas-dingin dan tahan menanggung suka-duka. Tidak pula menghitung-hitung. Memakan nasi sekepal, meminum air seteguk, sayur sejumput. Dengan senang juga hati dan pikirannya bekerja bercocok tanam di sawah sebagai pekerjaannya ketika menjadi manusia di dalam bhuwana. Ia mengurangi keterikatannya pada objek-objek indriya dan makan minum. Dan ternyata bahagia juga sifat perilaku dan keadaannya. Tidak pernah menyebabkan kesedihan pada orang banyak. Setiap jalan yang ditempuhnya selalu mendapatkan hasil. Walaupun sedikit biarpun banyak pemberian dari Hyang Jagat Karana, sepenuh hati juga ia mendekatkan diri pada Bhatara, memohon agar harta kekayaannya berkembang
[28a]
dan juga memohon agar dianugerahi panjang umur. Namanya adalah orang yang diam hening di dalam hidup. Apabila melakukan segala pekerjaan, sebagai puncak tujuannya adalah agar sama-sama berbahagia di bumi ini. Seperti itulah Dharma orang yang mencari harta di bumi mandala.
Kata têbêg berarti langgeng. Kata anêbêg adalah sebutan untuk pekerjaan mencangkul. Kata nambah adalah sebutan untuk permohonan orang sesuai dengan pelaksanaan sembah. Kata ambabad adalah sebutan untuk semua Tutur, Aji, Aksara. Semua itu adalah cara bagi orang yang tahu bagaimana mencari apa yang bernama Tri Tattwa [tiga tingkatan Tattwa]. Karena yang disebut Tri Tattwa itulah asal atau sebab dari mendapatkan apa yang dicari, segala macam pekerjaannya niscaya akan berhasil. Itulah sebabnya disebut “utama dari yang utama” di dalam mencari dan mendapatkan harta dengan cara bercocok tanam di sawah. Dalam hal ini, hanya berdasarkan perasaan bahagia semata-mata hasil itu akan didapatkan. Berbahagialah, maka dengan sendirinya harta akan datang, perlahan-lahan karena itulah yang menjadi “tidak ingin”
[28b]
pada akhirnya. Sesungguhnya berputar-putar sifat-sifat dari harta yang datang dan harta yang pergi. Keadaannya tidak langgeng, itulah sebagai sifat-sifatnya di dalam bhuwana, bulak-balik datang dan pergi pada orang yang kaya dan pada orang miskin, sejalan seiringlah ia dengan kemakmuran.
Yang dinamakan Kata adalah orang yang pada dirinya dipenuhi oleh kebahagiaan semata-mata, dirinya menginginkan kebahagiaan bagi seluruh isi dunia semuanya. Itulah sebabnya ia disebut sebagai “dana utama” menurut ucapan dari Shastra, sebagai jalan yang ditempuh oleh orang yang disebut sebagai Brahmana. Ia mencari kewibhawaan dan nafkah kehidupannya, dan juga yang dijadikannya sebagai sandang olehnya di dalam Bhuwana Sarira [tubuh sebagai bhuwana] sebagai dasarnya adalah sifat dharmanya, tekun melaksanakan Brata, mengembangkan kebaikan-kebaikan pada kemakmuran jagat. Karena sawah namanya Carik, sedangkan Carik adalah sebutan untuk Akasa Atmaka. Sesungguhnya yang disebut sebagai Akasa Atmaka itu adalah sisa-sisa atau bekas-bekas yang tertinggal dari matinya Sang Maha
[29a]
Pandita yang telah tuntas mencapai tingkatan putus atau tingkatan lepas dalam pencarian hidupnya.
Dan yang dinamakan Utama Dana adalah mendapatkan dana itu dari tangan musuh, dengan cara melakukan perang wacana mengadu kepandaiannya tentang semua isi Shastra, mendapatkan sari ucapan rasa dari Wedha Agama. Namun menurut ajaran semua Tattwa, dan ajaran Tutur Prakasa, tetap saja ia dalam keadaan yang terikat oleh para musuh-musuhnya. Apabila sudah sesuai dengan kebaikan-kebaikan, mengadakan ketnetuan-ketentuan, apabila ikut membuat kebaikan-kebaikan di ketiga tingkatan jagat, maka semua jalan yang ditempuhnya akan memberikan kewibhawaan menjadi manusia di jagat sakala [jagat yang terkena hukum waktu] dan kemashyuran di bumi mandala. Itulah tiada lain yang diusahakan olehnya, semata-mata kebahagiaan bagi bhuwana, menyatukan Tattwanya sebagai murid yang menunggal padanya. Itulah sebagai dasar permulaan dari angan-angannya setiap saat, semua jalan kebaikan yang ada di ketiga tingkatan bhuwana. Seperti itulah sifat perilaku dari seorang ksatriya
[29b]
utama namanya, apabila mencari kewibhawaan dengan jalan kebaikan, tidak terikat pada dunia, membangkitkan kesadaran atau ingatan tentang sari-sari dari bhuwana ini, tidak ia melupakan ajaran tentang Sila Adi Krama, semuanya sudah menjadi satu padu dengan dirinya.
Itulah yang turut serta membuat kebaikan-kebaikan namanya, baik untuk waktu saat sekarang ini maupun untuk waktu kemudian di masa depan, yaitu saat telah mendapatkan kewibhawaan dari pelaksanaan ajaran Sila Krama yang benar namanya. Itu pulalah yang disebut sebagai utama dana pada seorang ksatriya pandita, atau seorang pendeta keturunan ksatriya.
Ada pun yang disebut sebagai tingkatan madhya dari madhyanya dana itu, atau tingkatan menengahnya menengah, yaitu dana yang didapatkan dari usaha melaksanakan Yajna, namanya adalah Prana Adbhuta, yang berarti menang dan dikalahkan. Apa pula sebabnya disebut madhyanya madhya, atau menengahnya menengah? Sebabnya, oleh karena amat sulit untuk bisa mendapatkan artha, begitu sebutannya. Apabila dirimu menang, maka dirimu akan mendapatkan kebahagiaan yang besar serta mendapatkan kemakmuran. Sedangkan apabila dikalahkan dirimu, maka anakku
[30a]
akan mendapatkan Dira Bhawana, yaitu alam tempat pertemuan para dewa, akan bersatu dengan sinar yang samar-samar, sebagai buah pahala dari sifat-sifat yang sudira dan subrata, membangkikan sifat kedewaan sebagai pelulut hidupnya di dalam bhuwana. Seperti itulah ia menikmati kebahagiaan semata-mata.
Itulah sebabnya disebut sebagai dana madhyanya madhya, atau menengahnya menengah namanya. Karena turut serta di dalam naik turun atau pasang surut dengan tubuh, seperti itulah menurut beliau Sang Paramasurama yang ajaran-ajarannya didengarkan di seluruh dunia, sebagai pemucuk tertinggi yang disumpangkan oleh para Ksatriya Purusha, atau para ksatriya pemberani.
Dan tentang yang namanya madhya dana, yaitu mendapatkan dana dari hasil kegiatan berdagang, berjualan dan dengan melakukan pertukaran dengan cara berdagang melintasi lautan. Perjalanannya adalah untuk mendpatkan buah pahala dari pekerjaannya. Ketika kekayaannya berkembang, emas dan kemakmuran yang ada di dalam jagat sakala. Kekayaannya itu bisa pula menjai surut pada saat sedang berlayar berdagang. Itu adalah Wisyakarmata namanya, juga diisi
[30b]
oleh pasang-surut dan suka-duka, baik berbuah maupun tidak berbuah. Yang namanya utama adalah ketika merasa berbahagia karena harta kekayaannya menjadi berkembang. Tapi besar kedukaannya manakala rusak binasa hilang sumber-sumbernya mendapatkan kekayaan seperti emas setingkat perhiasan para raja. Seperti itulah sifat perilaku dari pikiran-pikiran Wesya namanya.
Adapun batas yang disebut sebagai Nista Dana adalah dana yang didapatkan dari pemberian anak dan pemberian istri serta dana yang didapatkan dari hasil menerima upah serta meminta-minta atau mengemis. Semua itu seluruhnya disebut dengan nama Nista. Oleh karenanya, maka akan menjadi sulit sekali dana-dana yang didapatkan dengan cara seperti itu akan berkembang biak menjadi banyak. Karena akan menjadi cepat hilangnya, dan lambat berkembangnya.
Adapun yang disebut dana tingkatan Nistanya Nista adalah dana yang didapatkan dari hasil kegiatan berjudi, yaitu dana yang didapatkan dari keterikatan indriyanya melakukan taruhan-taruhan. Walaupun dana itu didapatkan dari hasil mengadu sawung, sama tingkatan nistanya itu dengan tingkatan Nistanya Nista, seperti itu sebutannya. Bagaimana keadaannya pada tingkatan Nistanya
[31a]
Nista?
Apabila seperti itu kata-kata dirimu bertanya kepada diriku, oleh karena datangnya mengalir bersamaan dengan hilangnya, maka pada setiap saat selalu ada saja kesusahan hati, setiap saat bergerak-gerak. Rupanya tidak menjadi rupa yang bagus. Pada saat tidurnya baik siang maupun malam, matanya tidak pernah merasa mengantuk, tidak ubahnya ia itu tidur seperti tidur ayam yang sejatinya tidak pernah tidur. Budinya yang bingung dipenuhi oleh Wyakula Jnana, yaitu keadaannya seperti orang yang diselimuti oleh api sebesar gunung. Seperti itu adalah perumpamaannya. Karena tidak pernah dirinya merasakan enak dalam makan dan dalam minum.
Begitu pula kalau sedang duduk, oleh karenanya tidak pernah terlepas kesusahan hati dari tempat duduknya. Keterikatan pada aktivitas perjudian mengharapkan kalah dan menang. Yang kalah itu sejatinya menang. Semuanya mengeluarkan bermacam-macam ucapan dari panasnya hati Sang Pandita. Adapun ketika ia menang, tidak mampu pula ia untuk mendanakan kekayaannya itu. Seperti itulah keadaannya, meskipun kekayaannya itu sebagai isi dari dana punya,
[31b]
segala bentuk Yajnya seorang Resi Wara atau resi utama. Apabila ada orang yang bodoh dikuasai oleh keterikatan indriya-indriyanya, maka seperti itulah keadaan orang bodoh itu. Sudah jelas ia tidak akan mendapatkan hasil dari banyak macam Dana Punya yang ada di dalam bhuwana, meskipun dana itu besar atau pun kecil. Yadnya tingkatan nista, tingkatan madhya, maupun tingkatan utama, tidak diterima oleh Hyang Sesuhunan, baik yang berada di kiri maupun yang berada di kanan. Termasuk tidak akan diterima oleh Shri dari Hyang Daneshwara.
Semuanya beliau itu tidak sudi menerima yajna yang seperti itu tata cara pelaksanaannya. Itulah karya Yajna yang dinamakan “mungkuraken dewa”, maksudnya adalah Yajna yang memunggungi dewa. Itulah sebab-musababnya, banyaklah Yajna yang berubah menjadi penyakit, menjadi halangan, menjadi kesulitan, karena semuanya itu namanya menghayalkan Yajnya. Itulah yang menyebabkan, dibalikkanlah keburukan-keburukannya oleh Hyang. Semuanya seakan-akan mendapatkan racun, yaitu rasa panas membara di dalam hatinya. Itulah sebabnya, maka tidak boleh didanakan kekayaan yang diperoleh
[32a]
dari kegiatan berjudi dengan bertaruh-taruhan, menurut Sang Pandita. Karena itu adalah semata-mata pekerjaan dari hati buruk yang tidak ada kegunaannya, hanya menyebabkan munculnya kehancuran di dalam pikiran, bahkan sampai pada pikiran orang-orang yang bersifat dharma sekali pun.
Dan lagi tentang dana yang lebih rendah derajat kualitasnya daripada tingkatan Nistanya Nista adalah dana yang diperoleh dari memperdayai teman-teman manusia sesamanya. Sama tingkatannya dengan dana yang didapatkan dari hasil mencuri, hasil merampok, hasil mendapatkan upah dari pekerjaan membunuh-bunuh orang yang tanpa dosa. Itu semuanya adalah bentuk-bentuk dari dana yang didapatkan dari budhi yang papa, yaitu tidak dibenarkan dibawa ke dalam Yajna seorang resi utama. Nyata-nyata akan menjadi kotor dan binasalah kebaikan-kebaikan dari Yajnya orang yang dengan tekun melaksanakan brata. Terlebih lagi akan mendatangkan hambatan atau halangan hebat, menjadi musnahnya kemakmuran, dan segala kekayaan perhiasan kelas raja-raja. Tiada lain, hanya membesarkan kepapaan juga
[32b]
tujuannya ada. Patutlah hal seperti itu diwaspadai oleh orang-orang yang berkeinginan memiliki budhi dharma di dalam bhuwana ini, dan termasuk berkeinginan mendapatkan keheningan dalam kematian.
Adapun dana yang diperoleh dari orang tuamu, termasuk dana tingkatan madhya juga namanya, sama seperti cerita sebelumnya. Itulah sebabnya, wahai anakku Sang Aji Saji, janganlah dirimu sampai berani durhaka pada segala isi ajaran-ajaran shastra, yang patut digugu sehingga dengan demikian tidak akan menyimpang dari sudharmanya Hyang. Dengan bersungguh-sungguh tutuplah rapat-rapat rasa dari yang menjelma menjadi manusia, berdasarkan pada terus terang sewajarnya , dan orang yang mengharapkan mendapatkan apa yang disebut dana tingkatan Nistanya Nista, seperti diceritakan sebelumnya kepada dirimu, yang tanpa ada kegunaannya.
Dan dana yang lebih utama dari tingkatan Nistanya Nista, janganlah sampai dirimu biarkan mendekat kepada dirimu.
[33a]
Semua itu hendaknya disinggahkan [ditempatkan], dan bahkan boleh dipandang sebagai musuh oleh Sang Pandita yang memiliki budhi dharma. Apa pulakah itu menurut Sang Pandita yang memiliki budhi dharma? Apa pula sebabnya seperti itu?
Oleh karena budhi dharma itulah, maka dana itu diperoleh dari keutamaan Nistanya Nista namanya. Itulah yang membuat segera terbukanya lebar-lebar semua gerbang kawah tersebut. Keadaannya gelap gulita tertutup semua gerbang sorga pada orang-orang yang betah asyik menikmati hasil dari kekayaan yang didapatkan dari tingkatan nista teramat nista.
Demikianlah selanjutnya sampai kepada keturunan sanak keluarga, yaitu maksudnya anak cucu buyutnya menjadi sebagai isi dari lumpur kawah. Sebutannya adalah bentuk perwujudan dari Rorawa. Seluruh budhi yang sifatnya adalah bingung dan semua yang disebutkan sebagai kawah itu adalah timbunan-timbunan dari tidak adanya tapa, atau hasil dari tapa yang salah yang mendekat kepada dirinya, berhubungan dengan keberadaannya pada masa terdahulu, yaitu pada awal penjelmaannya, dari
[33b]
cara-cara yang dusta dan tanpa adanya kesusilaan, terus menerus membohongi manusia-manusia sesamanya, selalu menyimpang dari tata kesusilaan.
Itulah sebabnya pada akhir dari akhir didapatkannya keadaannya semula, dahulu pada awalnya kembali. Selanjutnya terus menerus bertukaran silih berganti di dalam alam Yama, yang penuh sesak mencari makanan dan minuman. Ada yang saling renggut-merenggut, saling tekan-menekan, dengan teman-teman sesamanya. Saling pukul-memukul sama-sama galak saling ikat-mengikat, memperebutkan makanan dan minuman, dan perempuan, serta saling suduk-seruduk dengan menggunakan senjata. Itulah cirri sifat perilaku dari pikiran yang ada di dalam kawah namanya. Semuanya bersifat serakah dalam hal berhubungan dengan lidah dan berhubungan dengan kemaluan, tidak memperdulikan istri dari orang laki lain. Terlebih lagi
[34a]
memaksa-maksa orang lain, karena mereka sama-sama lupa, sampai akhirnya mendapatkan kutukan dari guru.
Itulah sebabnya ada bermacam-macam sifat perilakunya. Itulah yang disebut mendapatkan hukuman dari para Dewa namanya. Oleh karena bersikap durhaka pada setiap ajaran Hyang, malah membeo seperti menghina rasa yang terkandung di dalam Shastra. Itulah sebabnya yang dinamakan neraka, sesungguhnya itulah yang menjadi cercaan atau celaan di ketiga tingkatan jagat ini, karena perilakunya, sifat-sifatnya, dan isi dari pikirannya bertentangan dengan ucapannya di dalam bhuwana.
Itulah yang menyebabkan menjadi cemar, tidak ubahnya sebagai kotorannya bumi, sebagai keburukan hatinya bhuwana. Semuanya menyebabkan rasa menderita pada yang melihat orang-orang yang sifat perilakunya seperti itu. Keadaan seperti itulah yang disebut dengan istilah sudosa, sebagai bentuk perwujudan atau sebagai perhiasan dari kawah yang bernama Tambra Gomuka, oleh karena penuh
[34b]
dengan Mala. Seperti itulah sesungguhnya penjelmaan dari orang-orang yang selalu menyimpang dari tata kesusilaan, bersikap durhaka pada kebaikan, tidak memiliki keinginan pada budhi yang bersifat damai, selalu berusaha untuk mendapatkan segala yang dimakan dan segala yang diminum, serta kewibhawaan dari semua yang disandangnya. Semuanya itu didapatkannya dengan budhinya yang tidak susila dan bohong. Perilaku seperti itu, benar-benar menjadi cercaan dan celaan, menyebabkan bertambah-tambah terbukanya pintu gerbang kawah lebar-lebar, dan juga menyebabkan tertutupnya rapat-rapat pintu gerbang sorga yang utama.
Yang disebut sebagai Rwa Bhinedha, atau dua yang berbeda itu, ada pada awal mula dari apa yang disebut Sangkan Paran, yang berarti asal dan tujuan, atau asal itu adalah tujuan. Ia adalah Pasuk Wêtu, atau jalan ke luar dan jalan masuknya atma. Itulah yang berkembang menjadi hidup dan mati, dan juga menjadi terjaga dan tidur. Ia yang menjadi suka dan duka, sakit dan sembuh, lupa dan ingat, siang dan malam, bumi dan langit, ayah dan ibu. Tidak diketahui ketika ia berada di dalam matahari dan bulan, dan juga ketika berada di dalam bintang Tranggana. Sebagai
[35a]
seluruh wawaran, yaitu nama-nama hari semuanya. Terutama wuku [siklus waktu terdiri dari tujuh hari] yang banyaknya tiga puluh. Seperti itulah konon banyaknya. Disatukannyalah semuanya itu oleh beliau Hyang Guru Mahangreka [Hyang Guru Mahapencipta]. Dipastulah oleh beliau sehingga itu menjadi manusia tunggal, benar-benar berupa manusia. Karena sudah menjadi satu dengan yang disebut Manusa Shakti. Manusia Shakti itulah yang berada di dalam diri manusia.
Itulah sebab-musababnya disebut menjadi orang namanya. Sesungguhnya, semua orang itu tidak boleh lupa pada ajaran tentang Sasana [etika] dan ajaran dasar Agama [tattwa] semuanya. Diberikanlah Hyang Bregu dahulu ketika jaman sebelum ada cerita. Ia itulah yang memulai adanya bumi dan adanya langit menjadi agamanya para manusia. Seluruh orang berguru kepada Hyang Surya Gni [apinya matahari], ajaran beliau yang dahulu konon juga didengar, tidak dibenarkan manusia itu melupakan yang namanya Mantra, Puja, dan Tutur Samahita,
[35b]
dan termasuk Dhyana suci, sebagai dasar dari pelaksanaan Yoga dan Samadhi, terlebih lagi tentang semua Sarira Aksara, yaitu Weddha Paraga. Karena memang awal dari pemujaan beliau, baik sebagai pemucuk maupun sebagai pangkal dari sembah beliau adalah Hyang Surya Gni [api matahari].
Hyang Agni atau api itulah sesungguhnya yang dinamakan sebagai pangkal atau dasar dari sembah. Hyang Surya atau matahari adalah sebagai pemucuk dari sembah. Tubuh ini adalah sebagai isi dari sembah di tengah-tengah menunggalnya seluruh aksara, yang menyebar [di dalam tubuh] semuanya digerakkan sama olehnya, dengan tanpa melupakan Sang Amurwa Wishesa, yaitu yang dipandang sebagai tiga guru pada jaman dahulu pada awal mulanya ada cerita.
Seperti itulah sifat perilaku dari manusia dan tata caranya apabila melakukan pesembahan berupa saji-saji. Terlebih lagi, apabila sudah mengetahui tempat pengembalian rasa dari shastra, yaitu Sarira Angga, atau tubuh ini sendiri. Itulah yang dinamakan mempersembahkan saji banten berupa Sarira Aksara, atau berupa tubuh ini sendiri sebagai kumpulan dari aksara-aksara. Karena sudah mengetahui tata cara menggelar semua aksara-aksara itu, maka dibenarkanlah
[36a]
sebagai isi dari uti bhatara yang disebut Sang Kasuhun Dewa Guru. Seluruh aksara-aksara itu dipandang sebagai banten yang bernama ajuman. Sebagai dulang-nya adalah Eka Aksara. Sebagai pênggurun adalah Windu Tattwa. Ikan-ikan isi persembahannya adalah seluruh ucapan-ucapannya. Kue-kue isi dari persembahan adalah sidhêpên. Pisang dan bunga-bunga, kedua-duanya menyebabkan yang disebut “ada” dan yang disebut “tidak ada”. Yang namanya Pisang Jati dan Pisang Asih, sesungguhnya adalah dua yang menjadi satu, saling asih-mengasihi. Sebagai pemujaannya adalah pengetahuan tentang Tiga Jnana [tiga macam pengetahuan yang membabadkan orang dari apa yang diketahuinya]. Yang patut disembah sesungguhnya adalah kata yang utama itu.
Demikianlah tata cara seorang mahapandita, yang mengetahui tata cara dari banten ajuman, sebagai uti beliau menggelar Eka Aksara. Adapun yang namanya sahitya uti itu adalah orang yang melaksanakan segala macam kegiatan yajna, janganlah sampai tidak menggunakan Daksina. Karena kegiatan yajnya yang tidak ada Daksinanya, matilah namanya yajna seperti itu
[36b]
oleh karena banyak kegiatan yajna yang dilaksanakan dengan menggunakan sarana saji-saji yang tanpa sari. Tidak ubahnya itu sebagai nasi dan ikan yang semuanya sudah matang siap untuk disajikan dan dimakan, segala jenis rasa yang enak-enak sampai minuman sudah pula lengkap, namun tidak ada perut mampu memakan dan meminumnya. Itulah sebabnya semua kegiatan dari Yajna itu seakan-akan tidak ada kegunaannya, apabila seperti itu tata cara pelaksanaannya.
Tidak ubahnya orang yang memberikan suguhan kepada orang yang tidak memiliki mulut dan tidak memiliki perut. Itulah sebabnya, yang disebut orang apabila ingin melaksanakan kegiatan Yajna dengan sarananya adalah persembahan berupa saji-saji, janganlah sampai melakukannya tanpa ada daksinanya. Ada pun maksudnya, janganlah mempersembahkan banten kepada yang tidak memiliki perut dan yang tidak memiliki mulut. Karena tidak ada yang akan memakan persembahan berupa saji-saji itu, baik persembahan saji-saji itu dari tingkatan nista, dari tingkatan madhya, dari tingkatan utama, termasuk besar-kecil sekali pun.
[37a]
Tidak bisa tidak semuanya tidak akan berbuah dan tanpa kegunaan, kecuali hanya menyebabkan menjadi susahnya pikiran. Apabila melihat pada kekurangan saji-saji, itu akan menulari mandala, tidak ada yang menjadi sia-sialah yajnya yang banyak itu. Itulah sesunggunya yang bernama tingkatan nista dari persembahan.
Apa konon sebabnya seperti itu, pada saat sedang menggelar segala macam banten semuanya, beriringan dengan pengantarnya berupa segala Puja, Mantra, Catur Wedha Stawa, lengkap dengan Stuti kepada Bhatara, membayangkan Hyang Tri Antah Karana [dewa dari tiga badan penyebab], Dewa Pratista, dijalankan dengan dasar yang suci nirmala, banyaklah dari saji-saji yang dinikmati. Dengan harapan semoga mencurahkan kasih beliau yaitu ketiga Hyang, memberikan apa saja yang diminta, selanjutnya ia mendoakan
[37b]
seluruh jenis yang dimakan, diberikan Amerta supaya rasanya menjadi enak. Segala yang dimakan dan segala yang diminum oleh orang adalah sebagai sumber pemberi hidup pada tubuh, dan sebagai sumber hidup dari bhuwana, sebagai amerta bagi catur sanak [empat saudara mistis], sebagai amerta bagi Catur Bhuwana [empat bhuwana], untuk menghilangkan segala macam hambatan, berupa lupa, lesu, bencana, penyakit, dan termasuk agar berkembangnya kebaikan, menjadi panjang umur. Sebagai buah pahalanya adalah tidak terkena kutukan dari Hyang.
Seperti itulah pahalanya Sang Pandita yang telah berhasil memancangkan rasa dari amerta dari segala yang dimakan, karena berkat welas asih dari Sang Hyang yang menganugerahkan amerta kepada dirinya.
Adapun apabila tanpa adanya makanan, jelaslah itu akan menyebabkan hilangnya keshaktian, akan lenyaplah kawishesan, akan sirnalah kesiddhian, musnahlah kemakmuran, diikuti hilangnya keterikatan pada dunia, karena
[38a]
akibat dari perbuatan yang baik dan yang damai sudah tidak ada lagi. Pantaslah disebut ia itu besar kebohongan budhinya, ia itu berbohong, tidak bisa tidak ia kehilangan kebijaksanaan dan tidak mendapatkan keuntungan apa-apa, akibat mendapatkan kutukan dari Hyang, begitulah sebutannya.
Dikutuk oleh Bhatara Kasuhun Tiga Sanak, tiga kali menjelma menyimpang dari tujuan dan mendapatkan penderitaan. Itu namanya mendapatkan hukuman dari para Dewa. Karena dibencanai oleh ketiga Hyang Guru. Itulah lantarannya menemukan neraka di dunia. Semuanya bengis membabi-buta kepada sesama teman-temannya, tidak pantas memiliki anak keturunan, dan sanak kerabat, sahabat, sanak keluarga, saling celaka-mencelakai dan sama-sama asyik betah dengan kesenangan dan kebencian, disusupi oleh apa yang disebut Kali Kalu Kala.
Karena adanya Kali menyusupi maka akan menjadi bertengkar. Kalu itu maksudnya besar kebodohan dan keras kebandelannya. Kala maksudnya tidak urung akan menyebabkan kematian. Itulah yang menyebabkan adanya peperangan yang sengit luar biasa di ketiga tingkatan jagat,
[38b]
baik peperangan di dalam maupun peperangan di luar.
Seperti itulah buah pahala bagi orang yang bersikukuh pada segala yang dinikmati [dimakan], setelah dipuja dijalankan amerta dari bhatara, namun amerta itu tidak dimakan, menyebabkan berkembangnya keterikatan pada objek-objek indriya, berduyun-duyun objek kemelekatan itu akan “memakan” dirimu.
Ada pun usaha dari orang yang namanya Sang Mahapandita, ia paham tentang ruang dan waktu dan tempat dari saji-saji tersebut. Apabila tidak paham, janganlah menjalankan banten. Terlebih lagi menjalankan amerta yaitu rasa utama dari sesaji itu. Pada orang yang besar ketidaktahuannya di dalam hati, setelah selesai dipuja, tidak bersedia orang yang memuja dan orang yang menjadi pengiringnya menyembah kepada Hyang, menikmati segala macam rupa dan warna dari saji-saji. Janganlah orang yang mengetahui hal itu mau melakukan pemujaan.
[39a]
Seperti itulah tata cara pelaksanaannya, oleh karena menyebabkan musnahnya kebaikan dari tubuh ini, itu tidak sebagai sarana dari makanan, karena menjadi kalah Hyang Dewa Guru namanya. Apabila menjalankan Amerta Sanjiwani, terlebih lagi apabila dirimu memberikannya, apabila setelah Amerta Sanjiwani itu diberikan olehnya, selanjutnya dibuanglah pemberiannya itu, itulah yang menyebabkan ia menjatuhkan kutukan kepada orang-orang.
Seperti itulah tata pelaksanaannya, tidak bisa tidak semua perilaku, sifat-sifatnya, pikirannya, dan termasuk seluruh tempat perbuatannya, biarpun orang yang memiliki wibhawa besar sekali pun, kaya emas permata hiasan kelas para raja, pasti akan terjadi, tidak akan mendapatkan kebahagiaan, selalu akan kekurangan juga apabila seperti itu isi pikiran dirimu. Ia akan ingat dan sadar apabila berbhakti kepada diriku yang menjadi awal mula dari penjelmaannya terdahulu, selanjutnya terus-menerus menurut pada sifat-sifat sudharma yang ada pada diriku,
[39b]
baik pada waktu saat sekarang ini, maupun pada waktu yang akan datang di kelak kemudian hari.
Seperti itulah isi perkataan dari Bhatara, yang menjatuhkan dosa kepada manusia di dunia sampai saat sekarang ini semenjak dahulu sejak awal adanya cerita, tiada lain seperti itulah tata caranya. Itulah sebabnya sesungguhnya tidak ada orang yang mendapatkan kebahagiaan sampai saat sekarang ini, apalagi yang namanya kebahagiaan yang tidak kembali pada duka, yaitu kebaikan yang sempurna. Biarpun kaya akan perhiasan sekelas perhiasan para raja seperti eman permata, dikerumuni oleh banyak warga, ia itu tidak benar-benar memiliki pikiran seorang yang bhakti kepada guru, yaitu kepada diriku, maksudnya sembahnya kepada diriku benar sewajarnya, yaitu orang yang sesuai dengan sifat-sifat sudharma diriku yang ada di jagat yang sejahtera. Sudah jelas manusia semuanya itu tidak akan mendapatkan pahala kebahagiaan, namanya adalah manusia yang tidak tuntas penjelmaannya. Itulah sebabnya saat sekarang ini aku mengadakan ketentuan-ketentuan kepada orang-orang
[40a]
yang ada di ketiga tingkatan jagat ini.
Sedangkan barang siapa orang yang berhasil mengikuti sifat-sifat sudharma diriku di dalam dunia ini, sudah jelas orang itu akan aku berikan kemashyuran, aku berikan kepandaian, termasuk akan aku berikan kebahagiaan yang tidak akan pernah kembali lagi pada duka, sempurna tidak lagi mengalami derita dari penjelmaan, tidak ada perbedaannya seperti diri aku ini.
Ada pun pada saat datangnya Pralaya [hari akhir, kematian] di kemudian hari, semoga orang itu akan kembali bersatu padu dengan tubuh diriku ini. Seperti itulah ketentuan-ketentuan Bhatara pada saat itu, yang didengarkan oleh diriku. Itulah sebabnya, ada yang dinamakan Manusia Shakti sampai saat sekarang ini. Benar-benar apa saja sebagai pahala dari pikiran-pikirannya, sungguh-sungguh sesuai dengan sifat-sifat sudharma dari Sang Hyang. Semuanya dikasihani oleh beliau, welas asih beliau memberikan apa saja yang dirimu mohonkan. Namun demikian, tidak setiap orang akan mampu mengikuti sifat-sifat sudharma Sang Hyang. Sang Yogishwara
[40b]
itu jugalah, yang bersaranakan brata Brahmacari namanya dalam tingkatan Catur Ashrama, berjalan seiring dengan yang namanya Sang Ratu Wibhuh, yaitu ia yang sebagai bentuk perwujudan dari keadaan yang makmur akan kebahagiaan. Karena hanya kebahagiaan itu jugalah yang dinikmatinya. Karena tidak akan kembali mendapatkan duka. Terlebih lagi seluruh yang ada di tempat keberadaannya selalu mendapatkan kebahagiaan semuanya apabila mengikutinya.
Seperti itulah keadaannya. Keadaan seperti itu didapatkan oleh orang-orang yang telah berhasil mengikuti sifat-sifat sudharmanya Sang Hyang Dewa Guru namanya, termasuk Bhatara Tiga Sanak [dewa tiga bersaudara]. Semuanya tata krama itu diturutinya dengan benar. Itulah sebabnya ia pantas sebagai bentuk perwujudan dari Manusia Shakti. Ketiganya adalah satu, berkat welas asih dari Sang Hyang, yang telah memberikan anugerah-anugerah yang lebih kepadanya daripada kepada para manusia sesamanya. Diperkenankannya ia menikmati sari-sari rasa dari awal mula
[41a]
adanya manusia. Mulai dari saat sekarang ini, ketika masih hidup bersiap-siaplah sepenuh hati di tengah bhuwana yang luas ini, dari alam sakala [alam yang tekena hukum waktu] akan mendapatkan rasa niskala [yang ada di luar hukum waktu]. Paham dengan apa yang dimaksudkan sebagai “mulaning mula” [awalnya awal], mampu melihat pada Sangkan Paran [asal dan tujuan, atau asal itu adalah tujuan], maka ia jugalah yang dipandang mengetahui tentang asal dari penjelmaan manusia.
Itulah yang pada awal mulanya disebut sebagai kebahagiaan yang tidak akan kembali pada duka. Itulah awal mula dari adanya Manusia Shakti. Itulah yang dimaksudkan keadaan ketika bersatu padu dengan Hyang Suksma Dewa Guru. Karena di dalam pikirannya, baik perilaku maupun pikirannya menjadi satu di dalam keinginan meniru sifat-sifat sudharmanya Hyang Guru, yang ketiganya dari Hyang Guru itu telah menjadi satu. Itulah yang dinamakan kesempurnaan dari penjelmaan. Oleh karena telah berhasil mendapatkan puncak dari penjelmaan. Itu jugalah yang disebut sebagai puncak dari kematian, menurut orang yang telah berhasil menempuh jalan Biksuka, atau orang yang telah matang menjadi seorang bhiksu atau seorang pendeta sejati.
Semuanya itu patut disebut sebagai bentuk perwujudan dari Wiku Catur Ashrama, yaitu pendeta yang telah melewati empat tahapan ashrama hidup. Apabila berbeda perilakunya dari semua jenjang itu
[41b]
namun tetap ia mengaku berbadankan Wiku Catur Ashrama, orang seperti itu sesunggunya mencuri status derajat sebagai manusia namanya. Karena bukan wiku kalau mengaku wiku, oleh karena pada dirinya masih besar kebingungan, kebodohan, kedunguannya. Itulah sebabnya tidak bersedia mengalah ketika berkata-kata. Seperti itu sesungguhnya adalah pertanda untuk dirimu tentang nista bodoh kurang shastra.
Pada saat usia tua ia bodoh, sebabnya karena besar kedunguannya. Orang yang seperti itu keadaannya adalah perwujudan dari Dorakala namanya. Karena ia disusupi oleh Kali. Oleh karena itu ia itu Kalu, yaitu dirinya menjadi pengotor bumi mandala. Tidak dibenarkan orang ini menjadi pemucuk dari kegiatan Yajna, dan termasuk tidak boleh mengantarkan dengan Puja Asthawa segala macam sesaji, yaitu sarana orang memohon Amerta Sanjiwani ke hadapan Hyang Tri Antah Karana, karena sebagai
[42a]
ulah dan pikirannya adalah hina.
Di dalam pikirannya bhakti kepada Hyang Dewa Guru Sunuhun keduanya. Biar pun orang itu diminta mengantarkan sesaji dengan Puja Asthawa dan menjadi pemucuk dari segala kegiatan yajna, sudah jelas ia akan menyebabkan tidak berkenannya Hyang memberikan apa yang dimohon. Tidak bisa tidak akan berbalik kotor oleh Bhatara yaitu kumpulan dari lara hati dan kesedihan, dituntun oleh kemarahan yang besar, bersifat serakah, dan keterikatan pada objek-objek indriya, menjadi besarlah duka yang akan didapatkannya, disertai dengan sakit yang selalu susah. Karena pikiran yang seperti itu keadaannya, dinamakan “memunggungi” Hyang, akan berhadapan dengan Dwarakala [Dorakala], itulah yang akan menyebabkan musnah hilangnya kebaikan-kebaikan. Berkembanglah mala pada indriya menjadi racun.
Pada saat berkembangnya segala indriya, tidak ada lagi budhi sesungguhnya. Maka bhuwana akan berubah menjadi kawah, menjadi panas membaralah
[42b]
ketiga tingkatan jagat. Hujan salah musim dan segala yang mengikuti hujan salah musim itu. Semua perilaku di ketiga tingkatan jagat menjadi tidak lagi sesuai dengan ruang dan waktu seperti awal mulanya terdahulu.
Jelas menjadi teramat sedikit tumbuhnya benih-benih, menyebabkan bhuwana ini mengalami huru-hara, karena kelaparan kekurangan makanan, saling menyeranglah mereka karena tidak ada yang bisa disandangnya, semuanya bahkan sampai bunuh membunuh. Tidak ada yang tahu cara memperbaikinya, segala perilakunya tidak bisa kembali menjadi baik. Itulah akibat dari orang yang menempatkan budhi tanpa susila sebagai puncaknya, bersikap durhaka kepada orang yang sadhu [suci]. Itulah sebabnya menjadi jauh melempas dari sifat-sifat sudharmanya Hyang.
Adapun yang menjadi dasar dirimu di dalam membelajarkan diri, termasuk dasar-dasar hidup di dalam pertapaan, yang utama adalah Adi Panguryyagan [honor kepada guru] dari dirimu kepada guru yang utama, yaitu berupa Jnana yang benar dan
[43a]
Sila Adikrama yang baik.
Adapun sebagai dasar sarana dirimu pada tingkatan menengah dalam hal honor kepada guru, adalah mas, permata, komala, intan, mirah utama dan harta seperti perak dan busana. Yang tingkatannya nista sebagai dasar sarana dirimu dalam berguru dan pembayaran honormu kepada Hyang dan gurumu, adalah segala macam Sadrasa [enam jenis rasa utama] yang enak-enak untuk dinikmati. Seperti itulah tata caranya orang yang hendak membelajarkan diri menjadi seorang anak atau menjadi seorang murid, sehingga tidak akan melempas dari dasar-dasar Sila Adikrama, sesuai dengan Dharma Sasana seorang murid dan seorang anak terhadap seorang guru. Tidak menjauh dari kehendak sifat-sifat dharmanya Hyang dan kehendak dari gurumu.